PENYAKIT HIV/AIDS
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadiran ALLAH swt atas limpah
hidayah, rahmat dan lindungan-nya sehingga makalah yang berjudul “PENYAKIT
AIDS” dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun
sebagai tugas pada mata kuliah DASAR-DASAR EPIDEMIOLOGI, selain itu makalah ini
disusun untuk menambah wawasan memahami tentang VIRUS HIV AIDS. Maka dari itu , saya menyampaikan terimakasih juga kepada dosen
kami karena telah memberi waktu dan kesempatan dalam menyusun makalah ini.
Kemudian apabila dalam pembahasan yang dijelaskan
tentunya mungkin masih jauh dari kesempurnaan, maka kritikan dan saran sangat diharapkan dari
semua pihak yang
sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini selanjutnya.
Demikianlah makalah yang saya susun dan jika ada
tulisan atau perkataan yang kurang berkenan(sopan) saya mohon maaf
sebesar-besarnya, semogamakalah ini bermanfaat buat pembaca.
Parepare,
16 januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGATAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI................................................................................................. ii
BAB
I LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
A. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 6
A.
PERKEMBANGAN TEORI
TERJADINYA PENYAKIT AIDS....... 6
1. Hubungan Penyebab Dan Penyakit
AIDS.............................................. 7
2.
Hubungan
Ø Jaring sebab akibat.......................................................................... 7
Ø Proses terjadinya penyakit
– Bereaksi menyebabkan orang sakit.. 7
1.
Model Hubungan Kausal penyakit AIDS................................. 7
Ø
Single cause................................................................ 8
Ø
Multipe cause.............................................................. 8
Ø
Myltipe cause.............................................................. 8
2.
Faktor Agent AIDS.................................................................. 9
Ø
Biologis........................................................................ 9
Ø
Fisik............................................................................. 9
Ø
Kimiawi........................................................................ 9
Ø
Sosial........................................................................... 9
B. TAHAP-TAHAP RIWAYAT ALAMIAH
PENYAKIT AIDS.............. 9
1. Prepatogenesis.................................................................................... 9
2. Patogenesis......................................................................................... 9
C. UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT AIDS.................................... 10
1.
Tingkat Pencegahan............................................................... 11
Ø
Primordial Prevention.................................................. 11
Ø
Pramary Prevention.................................................... 12
Ø
Secondary Prevention................................................. 12
2.
Bagaimana Besarnya
Kemungkinan Pencegahannya
Penyakit
AIDS.................................................................... 13
D. TRANSISI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AIDS............................. 14
E.
ETIKA EPIDEMIOLOGI
PENYAKIT AIDS................................... 15
F. KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AIDS................. 20
1. Segitiga
Epidemiologi................................................... ........ 20
a.
Host.......................................................................... 20
b.
Agent....................................................................... 21
c.
Lingkungan............................................................. 21
2.
Portal Of Entry and Exit............................................... 21
G. APLIKASI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AIDS.................... 22
BAB
III PENUTUP............................................................................ 23
A.
KESIMPULAN........................................................................... 23
B.
SARAN.................................................................................... 23
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................ 24
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat
AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.
Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV)
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah
terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju
perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV adalah
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia,
seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak
sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan
agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T
CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL)
darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi
yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten
klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang
diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya
infeksi tertentu.
o
Materi Genetik HIV
HIV memiliki
diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena bentuk
selubung yang menyelimuti partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari
membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung
terdapat bagian yang disebut protein matriks.
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen
utama, yaitu genom dan kapsid. Genom adalah materi genetik pada bagian inti
virus yang berupa dua kopi utas tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah protein
yang membungkus dan melindungi genom.
Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya
memiliki tiga gen (gag, pol, dan env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu,
vpr, tat, ref, dan nef). Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang
berukuran 9 kb. Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori
berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env),
protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx
hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).
o
Siklus Hidup HIV
Seperti virus lain
pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel inang. Siklus
hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor
pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel
yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga. Sel-sel
tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina,
dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV. Selain itu, HIV juga
dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda limpa.
Setelah menempel,
selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi partikel
virus akan terlepas di dalam sel. Selanjutnya, enzim transkriptase balik yang
dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA. Kemudian,
DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau
terintegrasi dengan DNA manusia. DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut
sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di dalam sel. Saat sel
teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel inang akan memproses
provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA. Kemudian, mRNA
akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat protein dan
enzim HIV. Sebagian RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus. Bagian
genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus
utuh. Pada tahap perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk
memotong protein panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus.
Apabila HIV utuh telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang
dan menginfeksi sel berikutnya. Proses pengeluaran virus tersebut melalui
pertunasan (budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari membran
permukaan sel inang.
o
Penularan Penyakit HIV
HIV hanya dapat
hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya bertahan beberapa jam saja di
luar tubuh.
HIV tidak dapat menular melalui air ludah, air mata,
muntahan, kotoran manusia dan air kencing, walaupun jumlah virus yang sangat
kecil terdapat di cairan ini. HIV tidak ditemukan di keringat.
HIV tidak dapat
menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan dengan orang yang
terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh orang terinfeksi HIV; saling
penggunaan perabot makan atau minum; atau penggunaan toilet atau air mandi
bergantian.
HIV/AIDS hanya dapat ditularkan melalui beberapa cara
sebagai berikut :
o
Penularan Melalui Hubungan
Seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi
ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang
dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual
reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif
tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena
HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual
secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak
digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular
seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan
pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga
karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada
semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara,
Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih
besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang
disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat
secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual
seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan
pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV
bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma
yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada
air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV
plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih
rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi
mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.
Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang
lebih mematikan.
o
Penularan Melalui Darah
Alur penularan ini terutama berhubungan dengan
pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan
produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang
mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit
(patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga
hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab
sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika
Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari
satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga
sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat
lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja
laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang.
Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima
rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik
di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan
yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika
Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak
aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh
opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan
kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan
HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju,
pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian,
menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang
aman dan “antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah
yang terinfeksi”.
o
Penularan Masa Perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui
rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan
dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak
selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang
ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat
memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan
risiko penularan sebesar 4%.
o
Sistem Tahapan Infeksi
Pada bulan September tahun 2005 World Health
Organization (WHO) mengelompokkan tahapan infeksi dan kondisi AIDS untuk pasien
dengan HIV-1 sebagai berikut :
§
Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak
dikategorikan sebagai AIDS
§
Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil
dan radang saluran pernafasan atas yang berulang
§
Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat
dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
§
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis
esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit
ini adalah indikator AIDS.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
I.
PEMBAHASAN
A. Perkembangan
teori terjadinya penyakit AIDS
1. Hubungan
penyebab dan penyakit AIDS
Kejadian ini berawal pada musim panas di Amerika
Serikat tahun 1981, ketika itu untuk pertama kalinya oleh Centers for Disease
Control and Prevention dilaporkan bahwa ditemukannya suatu peristiwa yang tidak
dapat dijelaskan sebelumnya dimana ditemukan adanya pneumonia
pneumosistis (sekarang masih di klasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui
disebabkan oleh pneumocystis jirovecii) yang mengenai 5 orang homosexual di Los Angeles,
kemudian berlanjut ditemukannnya ’penyakit’ Sarkoma Kaposi yang menyerang
sejumlah 26 orang homosexsual di New York dan Los Angeles. Beberapa bulan
kemudian penyakit tersebut ditemukan pada pengguna narkoba suntik, segera hal
itu juga menimpa para penerima transfusi darah.Sesuai perkembangan pola
epidemiologi penyakit ini, semakin jelaslah bahwa penyebab proses penularan
yang paling sering adalah melalui kontak sexual, darah dan produk darah serta
cairan tubuh lainnya.
Pada tahun 1983, ditemukan virus HIV pada penderita dan
selanjutnya pada tahun 1984 HIV dinyatakan sebagai faktor penyebab terjadinya
Aquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS).
Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV
AIDS. Menyatakan bahwa epidemik AIDS di mulai pada akhir tahun 1950-an di kongo
belgia sebagai akibat dari penelitian hilary koprowski terhadap vaksin polio.
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan
HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah
sumber dari mayoritas infeksi HIV didunia, sementara HIV-2 sulit dimasukkan dan
kebanyakan berada diafrika barat.
Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari
simpanse pan troglodytes troglodytes yang ditemukan dikamerun selatan. HIV-2
berasal dari sooty mangabey (cercocebus atys), monyet dari guinea bissau,
gabon, dan kamerun. Banyaknya ahli berpendapat bahwa HIV masuk kedalam tubuh
manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau
pemotongan daging.
HIV/AIDS adalah penyakit yang relatif baru ditemukan.
Infeksi lainnya seperti malaria, wabah, kusta, tuberkulosis, campak, dan kolera
telah mempengaruhi luas mayoritas umat manusia selama berabad-abad.
2. Hubungan
penyebab penyakit AIDS
a) jaring-jaring
sebab akibat
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome(disingkat
AIDS) adalah penyakit yang disebabkan sekumpulan gejala dan infeksi (atau:
sindrom) yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus Hiv. Penyakit ini dapat di tularkan melalui hubungan sex dengan seseorang yang sebelumnya
telah terjangkit virus HIV, dapat pula di tularkan melalui alat suntik, alat
tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas dipakai orang yang mengidap HIV.
b)
proses terjadinya penyakit AIDS
HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ
vital sistem
kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T),
makrofag, dan sel dendritik.
HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
3. model
hubungan kausal pnykt
a) Single
cause =
AIDS (acquired immune Deficiency Syndrome) disebabkan oleh virus
HIV (Human Immunodeficiency
Virus) . Penemuan kasus AIDS untuk pertama kalinya di Amerika Serikat
pada tahun 1981, ternyata hanya sedikit memberi informasi tentang sumber
penyakit ini. Sekarang sudah terbukti bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang
dikenal dengan HIV(Human
Immunodeficiency Virus).
b) multiple cause =
Ø
virus HIV yang mengakibatkan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga terjadi
penyakit AIDS
Ø
pelayanan kesehatan
Ø
prilaku
ü
melakukan seks bebas dan
tidak setia pada pasangan lebih rentan terjangkit penyakit AIDS, karna bisa
saja salah satu dari pasangan seksnya
sudah terlebih dahulu terjangkit penyakit AIDS tersebut
ü
pengguna narkoba juga akan
dengan mudah terjangkit penyakit AIDS, karna bisa saja jarum suntik yang di
gunakan secara bergiliran telah di gunakan sebelumnya oleh penderita AIDS,
sehingga virus HIV AIDS akan tertular kepadanya
c) myltiple cause= penyebab yang secara bersamaan untuk
menyebabkan penyakit hiv aids yaitu :
Virus Human Immunodeficiency
Pelayanan kesehatan Perilaku seseorang
Lingkungan
yang tidak sehat
4. faktor
agent peyakit AIDS
a) Faktor
biologI
·
Terjadinya infeksi oleh bakteri, virus,
fungi dan parasit yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan
tubuh yang dirusak HIV
·
Human Immunodeficiency Virus
b) Faktor
kimia
·
Obat-obatan
(narkoba), alkohol
c) faktor
fisik
·
Melakukan seks atau hubungan intim dengan
org yang telah terjangkit virus HIV AIDS
d) faktor
sosial
·
Pemakai narkoba, jarum suntik yang dipakai bergantian dengan pengidap
·
Seks bebas
·
Melalui alat suntik, alat
tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas dipakai orang yang mengidap HIV.
B. tahap-tahap
riwayat alamiah penyakit AIDS
1) Tahap Pre
Patogenesis
Tahap
pre patogenesis tidak terjadi pada penyakit HIV AIDS. Hal ini karena penularan
penyakit HIV terjadi secara langsung (kontak langsung dengan
penderita). HIV dapat menular dari suatu satu manusia ke manusia lainnya
melalui kontak cairan pada alat reproduksi, kontak darah (misalnya trafusi
darah, kontak luka, dll), penggunaan jarum suntik secara bergantian dan
kehamilan.
2) Tahap Patogenesis
Pada
fase ini virus akan menghancurkan sebagian besar atau keseluruhan sistem imun
penderita dan penderita dapat dinyatakan positif mengidap AIDS. Gejala klinis
pada orang dewasa ialah jika ditemukan dua dari tiga gejala utama dan satu dari
lima gejala minor. Gejala utamanya antara lain demam berkepanjangan, penurunan
berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga bulan, dan diare kronis
selama lebih dari satu bulan secara berulang-ulang maupun terus menerus. Gejala
minornya yaitu batuk kronis selama lebih dari 1 bulan, munculnya Herpes zoster
secara berulang-ulang, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh
Candida albicans, bercak-bercak gatal di seluruh tubuh, serta pembengkakan
kelenjar getah bening secara menetap di seluruh tubuh. Akibat rusaknya sistem
kekebalan, penderita menjadi mudah terserang penyakit-penyakit yang disebut
penyakit oportunitis. Penyakit yang biasa menyerang orang normal seperti flu,
diare, gatal-gatal, dan lain-lain. Bisa menjadi penyakit yang mematikan di
tubuh seorang penderita AIDS.
a) Tahap Inkubasi
Masa
inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai
dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup
lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita
tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita
disebut penderita HIV.
Pada
fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat tedeteksi dengan
pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV. Selama
masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada
orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa
inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala
sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.
b) Tahap Penyakit Dini
Penderita
mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat
mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena
virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebalan tubuhnya
menurun/ lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu
cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani uji antibody HIV
terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang beresiko
terkena virus HIV.
c) Tahap Penyakit
Lanjut
Pada
tahap ini penderita sudah tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa. Penderita
mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk serta nyeri dada. Penderita
mengalami jamur pada rongga mulut dan kerongkongan. Terjadinya gangguan pada
persyarafan central mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah
berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat.
Pada sistem persyarafan ujung (peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan
pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang selalu mengalami tensi
darah rendah dan impotent.
Penderita
mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau cacar api (herpes
zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada
jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit
(folliculities), kulit kering berbercak-bercak.
d) Tahap Post
Patogenesis (Tahap Penyakit Akhir)
Fase ini merupakan
fase terakhir dari perjalanan penyakit AIDS pada tubuh penderita. Fase akhir
dari penderita penyakit AIDS adalah meninggal dunia.
C. Upaya
pencegahan penyakit
1. - Primordial Prevention (Pencegahan
Awal/Tingkat Dasar) dimaksudkan untuk
memberikan kondisi pada masyarakat
yang memungkinkan Penyakit tersebut tidak didukung dari kebiasaan, gaya hidup
dan faktor resiko lainnya. Upaya ini cukup kompleks, karena tidak hanya
membutuhkan kesadaran pribadi dari individu tetapi juga dukungan sosial
masyarakat. Maka dari itu penderita AIDS tidak boleh di kucilkan karna ia akan
malu untuk mengakui penyakit yang sedang ia derita sehingga penyakit tersebut
tidak mendapatkan penanganan yang lebih lanjut.
- Pencegahan tingkat
pertama (primary prevention) seperti promosi kesehatan dan pencegahan
khusus. Sasarannya ialah faktor penyebab, lingkungan & pejamu. Langkah
pencegahaan di faktor penyebab misalnya, menurunkan pengaruh serendah
mungkin (desinfeksi, pasteurisasi, strerilisasi, penyemprotan insektisida)
agar memutus rantai penularan. Langkah pencegahan di faktor lingkungan
misalnya, perbaikan lingkungan fisik agar air, sanitasi lingkungan
& perumahan menjadi bersih. Langkah pencegahan di faktor pejamu misalnya perbaikan
status gizi, status kesehatan, pemberian imunisasi.
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah awitan suatu
penyakit atau cedera selama masa prapatogenesis (sebelum proses suatu penyakit
dimulai). Contoh pencegahan primer antara lain, progam pendidikan kesehatan dan
promosi kesehatan, proyek rumah aman dan pengembangan personalitas dan
pembentukan karakter. Sayangnya penyakit atau cedera tidak dapat selalu
dicegah.penyakit kronis khususnya,terkadang menyebabkan disabilitas
(ketidakmampuan) yang cukup parah sebelum akhirnya terdektesi dan akhirnya
diobati.dalam hal ini, intervensi segera mencegah kematian atau
membatasi disabilitas.
- Pencegahan tingkat
kedua (secondary prevention) seperti diagnosis dini serta pengobatan
tepat. Sasarannya ialah pada penderita / seseorang yang dianggap menderita
(suspect) & terancam menderita. Tujuannya adalah untuk diagnosis
dini & pengobatan tepat (mencegah meluasnya penyakit/ timbulnya wabah &
proses penyakit lebih lanjut/ akibat samping & komplikasi). Beberapa usaha
pencegahannya ialah seperti pencarian penderita,
pemberian chemoprophylaxis (Prepatogenesis / patogenesis penyakit
tertentu). Tindakan pencegahan skunder yang paling penting adalah skrining
kesehatan. Tujuannya bukan untuk mencegah terjadinya penyakit tetapi lebih
untuk mendeteksi keberadaanya selama masa pathogenesis awal, sehingga
intervensi(pengobatan) dini dan pembatasan disabilitas sudah dapat dilakukan.
Tujuan skrining kesehatan juga bukan untuk mendiagnosis penyakit, tujuannya
adalah memilah secara ekonomi dan efisien mereka yang kemungkinan sehat dari
mereka yang kemungkinan positif terjangkit penyakit.
- Pencegahan tingkat
ketiga (tertiary prevention) seperti pencegahan terhadap cacat dan
rehabilitasi. Sasarannya adalah penderita penyakit tertentu. Tujuannya ialah
mencegah jangan sampai mengalami cacat & bertambah parahnya penyakit juga
kematian dan rehabilitasi (pengembalian kondisi fisik/ medis, mental/
psikologis & sosial, serta melatih kembali,mendidik kembali, dan
merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. tindakan pencegahan
tersier mencakup tindakan yang diterapkan setelah berlangsungnya masa
patogenesis. terapi untuk pasien jantung merupakan contoh pencegahan tersier.
2. Besarnya
kemungkinan pencegahan penyakit hiv aids
·
Untuk mengurangi resiko kemungkinan virus HIV dapat
dicegah dengan kondom pria dan wanita. Karna biasanya penyait AIDS akan di
tularkan oleh seseorang yang terkena virus HIV
·
Orang perlu menggunakan jarum suntik yang baru untuk
menghindari virus HIV yang mungkin sudah mengontaminasi. Penggunaan narkoba
juga bisa meningkatkan resiko penyakit AIDS karna bisa saja mereka saling
bertukar jarum suntik yang telah terkontaminasi
·
Selain menggunakan jarum suntik tidak steril
bergantian dengan orang lain. Berlaku juga untuk tidak menggunakan alat tindik
anting, tato secara bersama dengan orang lain.
·
Dari ibu yang positif dapat menularkan kepada bayinya
ketika dalam kandungan, saat pesalinan atau pun pada masa menyusui. Konsumsi
ARV secara teratur oleh ibu hamil yang telah terinfeksi ditemukan dapat mengurangi
kemungkinan tertularnya bayi yang ada dalam kandungan Namun tetap saja, obat
ini tidak akan menyembuhkan penyakit HIV - AIDS, melainkan meningkatkan daya
tahan tubuh saja
·
ada baiknya agar wanita yang positif terjangkit virus
HIV AIDS disarankan agar tidak hamil.
·
Jangan melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang
telah terinfeksi
D.
Transisi epidemiologi penyakit HIV AIDS
AS tercatat mempunyai
kasus AIDS terbesar, estimasi kumulatif dan angka tahunan AIDS di negara-negara
sub- Sahara Afrika ternyata jauh lebih tinggi. Di seluruh dunia, WHO
memperkirakan lebih dari 13 juta kasus (dan sekitar 2/3 nya di
negara-negara sub-Sahara Afrika) terjadi pada tahun 1999. Di AS, distribusi
kasus AIDS disebabkan oleh faktor “risk behavior” yang berubah pada dekade yang
lalu. Walaupun wabah AIDS di AS terutama terjadi pada pria yang berhubungan sex
dengan pria, angka pertambahan terbesar di laporkan pada pertengahan tahun
1990-an terjadi diantara wanita dan populasi minoritas.
Pada tahun 1993 AIDS
muncul sebagai penyebab kematian terbesar pada penduduk berusia 25 - 44 tahun,
tetapi turun ke urutan kedua sesudah kematian yang disebabkan oleh kecelakaan
pada tahun 1996. Namun, infeksi HIV tetap merupakan kasus tertinggi penyebab kematian
pada pria dan wanita kulit hitam berusia 25 - 44 tahun. Penurunan insidens dan
kematian karena AIDS di Amerika Utara sejak pertengahan tahun 1990 antara lain
karena efektifnya pengobatan antiretroviral, disamping upaya pencegahan dan
evolusi alamiah dari wabah juga berperan. HIV/AIDS yang dihubungkan dengan
penggunaan jarum suntik terus berperan dalam wabah HIV terutama dikalangan kaum
minoritas kulit berwarna di AS.
Penularan heteroseksual
dari HIV di AS meningkat secara bermakna dan menjadi pola predominan dalam
penyebaran HIV di negara-negara berkembang. Kesenjangan besar dalam mendapatkan
terapi antiretroviral antara negera berkembang dan negara maju di ilustrasikan
dengan menurunnya kematian karena AIDS pertahun di semua negara maju sejak pertengahan
tahun 1990-an dibandingkan dengan meningkatnya kematian karena AIDS pertahun di
sebagian besar negara berkembang yang mempunyai prevalensi HIV yang tinggi.
Di AS dan negara-negara
barat, insidens HIV pertahunnya menurun secara bermakna sebelum pertengahan
tahun 1980-an dan tetap relatif rendah sejak itu. Namun, di beberapa negara
sub-Sahara Afrika yang sangat berat terkena penyakit ini, insidens HIV tahunan
yang tetap tinggi hampir tidak teratasi sepanjang tahun 1980 dan 1990-an.
Negara-negara di luar Sub-Sahara Afrika, tingginya prevalensi HIV (lebih dari
1%) pada populasi usia 15 - 49 tahun, ditemukan di negara-negara Karibia, Asia
Selatan dan Asia Tenggara. Dari sekitar 33.4 juta orang yang hidup dengan
HIV/AIDS pada tahun 1999 diseluruh dunia, 22.5 juta diantaranya ada di
negara-negara sub-Sahara Afrika dan 6,7 juta ada di Asia Selatan dan Asia
Tenggara, 1,4 juta ada di Amerika Latin dan 665.000 di AS. Diseluruh dunia AIDS
menyebabkan 14 juta kematian, termasuk 2,5 juta di tahun 1998. HIV-1 adalah
yang paling tinggi; HIV-2 hanya ditemukan paling banyak di Afrika Barat dan di
negara lain yang secara epidemiologis berhubungan dengan Afrika Barat.
negara lain yang secara epidemiologis berhubungan dengan Afrika Barat.
E. Etika epidemiologi penyakit
Contoh kasus :
Suatu hari ada
seorang bapak-bapak dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah Sakit di kota
Surakarta dengan gejala demam dan diare kurang lebih selama 6 hari. Selain itu
bapak-bapak tersebut (Tn. A) berat badannya turun secara berangsur-angsur.
Semula Tn. A badannya gemuk tapi 3 bulan terakhir ini badannya kurus dan telah
turun 10 Kg dari berat badan semula. Tn. A ini merupakan seorang sopir truk
yang sering pergi keluar kota karena tuntutan kerjaan bahkan jarang pulang,
kadang-kadang 2 minggu sekali bahkan sebulan sekali.
Tn. A masuk UGD kemudian dari dokter untuk diopname di
ruang penyakit dalam karena kondisi Tn. A yang sudah sangat lemas. Keesokan
harinya dokter yang menangani Tn. A melakukan visit kepada Tn. A, dan
memberikan advice kepada perawatnya untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium
dengan mengambil sampel darahnya. Tn. A yang ingin tahu sekali tentang
penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera memberi tahu penyakitnya
setelah didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya pukul 16.00 WIB hasil
pemeriksaan telah diterima oleh perawat tersebut dan telah dibaca oleh
dokternya. Hasilnya mengatakan bahwa Tn. A positif terjangkit penyakit
HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut memanggil keluarga Tn. A untuk menghadap
dokter yang menangani Tn. A. Bersama dokter dan seijin dokter tersebut, perawat
menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya. Keluarga terlihat kaget dan
bingung. Keluarga meminta kepada dokter terutama perawat untuk tidak
memberitahukan penyakitnya ini kepada Tn. A. Keluarga takut Tn. A akan
frustasi, tidak mau menerima kondisinya dan dikucilkan dari masyarakat. Perawat
tersebut mengalami dilema etik dimana satu sisi dia harus memenuhi permintaan
keluarga namun di sisi lain perawat tersebut harus memberitahukan kondisi yang
dialami oleh Tn. A karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi.
Penyelesaian kasus dilema etik seperti ini diperlukan
strategi untuk mengatasinya karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi
perbedaan pendapat antar tim medis yang terlibat termasuk dengan pihak keluarga
pasien. Jika perbedaan pendapat ini terus berlanjut maka akan timbul masalah
komunikasi dan kerjasama antar tim medis menjadi tidak optimal. Hal ini jelas
akan membawa dampak ketidaknyamanan pasien dalam mendapatkan pelayanan keperawatan.
Berbagai model pendekatan bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah dilema
etik ini antara lain model dari Megan, Kozier dan Erb, model Murphy dan Murphy,
model Levine-ariff dan Gron, model Curtin,
model Purtilo dan Cassel, dan model Thompson dan thompson.
Berdasarkan pendekatan model Megan, maka
kasus dilema etik perawat yang merawat Tn. A ini dapat dibentuk kerangka
penyelesaian sebagai berikut :
1)
Mengkaji situasi
Dalam hal ini perawat harus bisa melihat situasi,
mengidentifikasi masalah/situasi dan menganalisa situasi. Dari kasus diatas
dapat ditemukan permasalahan atau situasi sebagai berikut :
a)
Tn. A menggunakan haknya sebagai pasien untuk
mengetahui penyakit yang dideritanya sekarang sehingga Tn. A meminta perawat
tersebut memberikan informasi tentang hasil pemeriksaan kepadanya.
b) Rasa kasih sayang
keluarga Tn. A terhadap Tn. A membuat keluarganya berniat menyembunyikan
informasi tentang hasil pemeriksaan tersebut dan meminta perawat untuk tidak
menginformasikannya kepada Tn. A dengan pertimbangan keluarga takut jika Tn. A
akan frustasi tidak bisa menerima kondisinya sekarang
c) Perawat merasa
bingung dan dilema dihadapkan pada dua pilihan dimana dia harus memenuhi
permintaan keluarga, tapi disisi lain dia juga harus memenuhi haknya pasien
untuk memperoleh informasi tentang hasil pemeriksaan atau kondisinya.
2)
Mendiagnosa Masalah Etik Moral
Berdasarkan kasus dan analisa situasi diatas maka bisa
menimbulkan permasalahan etik moral jika perawat tersebut tidak memberikan
informasi kepada Tn. A terkait dengan penyakitnya karena itu merupakan hak
pasien untuk mendapatkan informasi tentang kondisi pasien termasuk penyakitnya.
3)
Membuat Tujuan dan Rencana Pemecahan
Alternatif-alternatif rencana harus dipikirkan dan
direncanakan oleh perawat bersama tim medis yang lain dalam mengatasi
permasalahan dilema etik seperti ini. Adapun alternatif rencana yang bisa
dilakukan antara lain :
a)
Perawat akan melakukan kegiatan seperti biasa tanpa
memberikan informasi hasil pemeriksaan/penyakit Tn. A kepada Tn. A saat itu
juga, tetapi memilih waktu yang tepat ketika kondisi pasien dan situasinya
mendukung.Hal ini bertujuan supaya Tn. A tidak panik yang berlebihan ketika
mendapatkan informasi seperti itu karena sebelumnya telah dilakukan
pendekatan-pendekatan oleh perawat. Selain itu untuk alternatif rencana ini
diperlukan juga suatu bentuk motivasi/support sistem yang kuat dari keluarga.
Keluarga harus tetap menemani Tn. A tanpa ada sedikitpun perilaku dari keluarga
yang menunjukkan denial ataupun perilaku menghindar dari Tn. A. Dengan demikian
diharapkan secara perlahan, Tn. A akan merasa nyaman dengan support yang ada
sehingga perawat dan tim medis akan menginformasikan kondisi yang sebenarnya.
Ketika
jalannya proses sebelum diputuskan untuk memberitahu Tn. A tentang kondisinya
dan ternyata Tn. A menanyakan kondisinya ulang, maka perawat tersebut bisa
menjelaskan bahwa hasil pemeriksaannya masih dalam proses tim medis.
Alternatif ini
tetap memiliki kelemahan yaitu perawat tidak segera memberikan informasi yang
dibutuhkan Tn. A dan tidak jujur saat itu walaupun pada akhirnya perawat
tersebut akan menginformasikan yang sebenarnya jika situasinya sudah tepat.
Ketidakjujuran merupakan suatu bentuk pelanggaran kode etik keperawatan.
b) Perawat akan
melakukan tanggung jawabnya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien
terutama hak Tn. A untuk mengetahui penyakitnya, sehingga ketika hasil
pemeriksaan sudah ada dan sudah didiskusikan dengan tim medis maka perawat akan
langsung menginformasikan kondisi Tn. A tersebut atas seijin dokter.
`
Alternatif ini bertujuan supaya Tn.
A merasa dihargai dan dihormati haknya sebagai pasien serta perawat tetap tidak
melanggar etika keperawatan. Hal ini juga dapat berdampak pada psikologisnya
dan proses penyembuhannya. Misalnya ketika Tn. A secara lambat laun mengetahui
penyakitnya sendiri atau tahu dari anggota keluarga yang membocorkan informasi,
maka Tn. A akan beranggapan bahwa tim medis terutama perawat dan keluarganya
sendiri berbohong kepadanya. Dia bisa beranggapan merasa tidak dihargai lagi atau
berpikiran bahwa perawat dan keluarganya merahasiakannya karena ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS) merupakan “aib” yang dapat mempermalukan keluarga dan Rumah
Sakit. Kondisi seperti inilah yang mengguncangkan psikis Tn. A nantinya yang
akhirnya bisa memperburuk keadaan Tn. A. Sehingga pemberian informasi secara
langsung dan jujur kepada Tn. A perlu dilakukan untuk menghindari hal tersebut.
4)
Melaksanakan Rencana
Alternatif-alternatif rencana tersebut harus
dipertimbangkan dan didiskusikan dengan tim medis yang terlibat supaya tidak
melanggar kode etik keperawatan. Sehingga bisa diputuskan mana alternatif yang
akan diambil. Dalam mengambil keputusan pada pasien dengan dilema etik
harus berdasar pada prinsip-prinsip moral yang berfungsi untuk membuat secara
spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam
situasi tertentu ( John Stone, 1989 ), yang meliputi :
a)
Autonomy / Otonomi
Pada prinsip ini
perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dan keluarganya tapi
ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak setuju maka perawat harus
mengutamakan hak Tn. A tersebut untuk mendapatkan informasi tentang kondisinya.
b) Benefesience / Kemurahan
Hati
c) Prinsip ini
mendorong perawat untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan yang baik dan tidak
merugikan Tn.A. Sehingga perawat bisa memilih diantara 2 alternatif diatas mana
yang paling baik dan tepat untuk Tn. A dan sangat tidak merugikan Tn. A
d) Justice / Keadilan
Perawat harus
menerapkan prinsip moral adil dalam melayani pasien. Adil berarti Tn. A
mendapatkan haknya sebagaimana pasien yang lain juga mendapatkan hak tersebut
yaitu memperoleh informasi tentang penyakitnya secara jelas sesuai dengan
konteksnya/kondisinya.
e) Nonmaleficience / Tidak
merugikan
Keputusan yang
dibuat perawat tersebut nantinya tidak menimbulkan kerugian pada Tn. A baik
secara fisik ataupun psikis yang kronis nantinya.
f) Veracity / Kejujuran
Perawat harus
bertindak jujur jangan menutup-nutupi atau membohongi Tn. A tentang
penyakitnya. Karena hal ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab perawat
untuk memberikan informasi yang dibutuhkan Tn. A secara benar dan jujur
sehingga Tn. A akan merasa dihargai dan dipenuhi haknya.
g) Fedelity / Menepati
Janji
Perawat harus
menepati janji yang sudah disepakati dengan Tn. A sebelum dilakukan pemeriksaan
yang mengatakan bahwa perawat bersdia akan menginformasikan hasil pemeriksaan
kepada Tn. A jika hasil pemeriksaannya sudah selesai. Janji tersebut harus
tetap dipenuhi walaupun hasilnya pemeriksaan tidak seperti yang diharapkan karena
ini mempengaruhi tingkat kepercayaan Tn. A terhadap perawat tersebut nantinya
h) Confidentiality / Kerahasiaan
Perawat akan
berpegang teguh dalam prinsip moral etik keperawatan yaitu menghargai apa yang
menjadi keputusan pasien dengan menjamin kerahasiaan segala sesuatu yang telah
dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.
Berdasarkan
pertimbangan prinsip-prinsip moral tersebut keputusan yang bisa diambil dari
dua alternatif diatas lebih mendukung untuk alternatif ke-2 yaitu secara
langsung memberikan informasi tentang kondisi pasien setelah hasil pemeriksaan
selesai dan didiskusikan dengan semua yang terlibat. Mengingat alternatif ini
akan membuat pasien lebih dihargai dan dipenuhi haknya sebagai pasien walaupun
kedua alternatif tersebut memiliki kelemahan masing-masing. Hasil keputusan
tersebut kemudian dilaksanakan sesuai rencana dengan pendekatan-pendekatan
dan caring serta komunikasi terapeutik.
5)
Mengevaluasi Hasil
Alternatif yang dilaksanakan kemudian dimonitoring dan
dievaluasi sejauh mana Tn. A beradaptasi tentang informasi yang sudah
diberikan. Jika Tn. A masih denial maka pendekatan-pendekatan tetap terus
dilakukan dan support sistem tetap terus diberikan yang pada intinya membuat
pasien merasa ditemani, dihargai dan disayangi tanpa ada rasa dikucilkan.
Adapun Prisip etika
yang harus dipegang teguh oleh seluruh komponen baik itu seseorang, masyarakat,
nasional maupun dunia internasional dalam menghadapai HIV/AIDS adalah :
a)
Empati, ikut merasakan penderitaan, sesama termasuk
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dengan penuh simpati, kasih sayang dan kesedihan
saling menolong.
b)
Solidaritas, secara bersama-sama bahu membahu
meringankan penderitaan dan melawan ketidakadilan yang diakibatkan olah
HIV/AIDS.
c)
Tanggung jawab, berarti setiap individu, masyarakat
lembaga atau bangsa mempunyai tanggung jawab untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS
dan memberikan perawatan pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) (Nursalam, 2007).
F.
Konsep dasar epidemiologi penyakit
1.
Segitiga epidemiologi (host ,agent, evironmen)
·
Agent
: faktor pembawa dari penyakit AIDS adalah virus HIV (Immunodeficiency Virus). Virus ini dapat di
tularkan melalui hubungan seksual dengan seseorang yang telah positif terjangki
virus HIV sebelumnya, dapat pula ditularkan melalui jarum suntik yang tidak
steril.
·
Host
:
a)
Jenis
kelamin : dalam kasus ini, virus HIV tidak menentu akan menyerang wanita maupun
laki-laki, Wanita lebih rentan terhadap penularan PMS dan HIV dibandingkan
dengan laki-laki, akibat faktor anatomis-biologis dan faktor sosiologis-gender.
Kondisi anatomis-biologis wanita menyebabkan struktur panggul wanita dalam
posisi “menampung”, dan alat reproduksi wanita sifatnya “masuk kedalam”
dibandingkan pria yang sifatnya “menonjol keluar”. Keadaan ini menyebabkan
mudahnya terjadi infeksi khronik tanpa diketahui oleh yang bersangkutan .
Adanya infeksi khronik akan memudahkan masuknya virus HIV. Mukosa (lapisan
dalam) alat reproduksi wanita juga sangat halus dan mudah mengalami perlukaan
pada proses hubungan seksual. Perlukaan ini juga memudahkan terjadinya infeksi
virus HIV. Faktor sosiologis-gender berkaitan dengan rendahnya status sosial
wanita (pendidikan, ekonomi, ketrampilan). Akibatnya kaum wanita dalam keadaan
rawan yang menyebabkan terjadinya pelecehan dan penggunaan kekerasan seksual,
dan akhirnya terjerumus kedalam pelacuran sebagai strategi survival.
b)
Usia
: dari segi usia biasanya remaja lebih rentan terjangkit virus HIV AIDS Karna
disebabkan oleh pergaulan bebas
·
Environment, Lingkungan biologis sosial, ekonomi, budaya
dan agama sangat menentukan penyebaran AIDS. Lingkungan biologis adanya riwayat
ulkus genitalis, Herpes Simpleks dan STS (Serum Test for Sypphilis) yang
positip akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-luka ini menjadi tempat
masuknya HIV. Faktor
biologis lainnya adalah penggunaan obat KB. Pada para WTS di Nairobi terbukti
bahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi
2.
Portal of entry and exit
Ø portal of exit : HIV dapat keluar dari tubuh reservoir dalam
hal ini adalah manusia melalui membran mukosa yang terletak di dalam vagina,
diujung penis dan anus serta berupa cairan tubuh, termasuk ASI.
Ø
portal of entry : pada
kasus HIV/AIDS portal of exit sama dengan portal of entry. Virus HIV tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui membran mukosa dan darah (termasuk
perinatal).
G.
Aplikasi epidemiologi penyakit
Aplikasi epidemiologi penyakit AIDS yaitu bagaimana cara pengaplikasian
penyakit AIDS itu sendiri dengan pencegahannya serta penerapannya untuk mencari
penyembuhannya dalam hal kesling dan kliniknya.dalam hal ini bagaimana perilaku
atau gaya hidup manusia dalam menjaga
kesehatan dan dan gaya hidupnya agar virus HIV AIDS tidak menyebar melalui seks
bebas maupun penggunaan jarum suntik yang bergiliran terhadap pengguna narkoba,
sehingga mencegah penyakit termasuk penyakit kolera.tertular ke
manusianya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih
dikenal dengan dengan AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menyerang dan
merusak sel kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan
mudah terserang berbagai penyakit antara
lain TBC, diare, sakit kulit, dll.\
HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ
vital sistem
kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T),
makrofag, dan sel dendritik. Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia
adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam
tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV didunia.
portal of exit HIV dapat keluar dari tubuh reservoir
dalam hal ini adalah manusia melalui membran mukosa yang terletak di dalam
vagina, diujung penis dan anus serta berupa cairan tubuh, termasuk ASI,
sedangkan portal of entry pada kasus HIV/AIDS hampir sama dengan portal of exit.
Virus HIV tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui membran mukosa
dan darah (termasuk perinatal).
B. Saran
Saya suka dengan cara mengajar ibu, singkat namun mudah di mengerti. Ada
pun saran saya, kalo bisa yah bu’ jangan terlalu banyak kasih tugas atau teori
saja. Ada baiknya ketika kami di amanatkan untuk mengerjakan sebuah tugas,
alangkah baiknya ketika tugas itu di diskusikan melalui kelompok masing masing
yang telah di bagikan. Karna dengan adanya diskusi kelompok, pembahasannya akan
semakin meluas sehingga banyak yang tidak kami ketahui akan menjadi sedikit
tahu.
wassalam
DAFTAR PUSTAKA
ml.scribd.com/doc/5150513/makalah-HIV-aids
infokesehatan101.blogspot.com.kesehatan
Ditjen PPM & PL Depkes RI. Data Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia. 2010 Avaiable from :http://www.aidsindonesia.or.id/repo/LT1Menkes2010.pdf
PENYAKIT FLU BURUNG
FAKULTAS ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PAREPARE
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat, taufiq,
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun tugas Makalah Dasar dasar
epidemiologi tentang penyakit “ FLU BURUNG”
Makalah
ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan tugas
mata kuliah Dasar dasar epidemiologi. Makalah ini telah diupayakan agar dapat sesuai apa yang
diharapkan dan Dengan terselesainya
Makalah ini sekiranya bermanfaat bagi setiap pembacanya. Makalah ini saya
sajikan sebagai bagian dari proses pembelajaran agar kiranya kami sebagai
mahasiswa dapat memahami betul tentang perlunya sebuah tugas agar menjadi bahan
pembelajaran.
selesainya
makalh ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama berbagai pihak. Olehnya
itu, kami mengucapkan rasa syukur yang tulus dan ikhlaskepada Allah SWT, serta
ucapan terima kasih kepada : Dosen Pembimbing dan Teman teman berkat
kerjasamanya sehingga Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Saya
menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kesempurnaan dan dengan segala kerendahan
hati kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga apa yang
kita harapkan dapat tercapai. Dan merupakan bahan kesempurnaan untuk makalah ini
selanjutnya. Besar harapan saya, semoga makalah yang saya buat ini mendapat ridho dari Allah SWT.
Amin..
Parepare, Januari
2013
Penyusun
A. Latar belakang
Avian influenza pertama kali ditemukan menyerang di itali
sekitar 100 tahun yang lalu. Wabah virus ini menyerang manusia pertama kali di
Hongkong pada tahun 1997 dengan 18 korban dan 6 diantaranya meninggal3. Sejarah
dunia telah mencatat tiga pandemi besar yang disebabkan oleh virus influenza
tipe A. Pandemi pertama terjadi pada tahun 1918 berupa flu spanyol yang disebabkan
oleh subtipe H1N1 dan memakan korban meninggal 40 juta orang. Pandemi ini
sebagian besar terjadi di eropa dan amerika serikat. Pandemi kedua terjadi pada
tahun 1918 berupa flu asia yang disebabkan oleh H2N2 dengan korban 4 juta jiwa.
Pandemi terakhir pada tahun 1968 berupa flu hongkong yang disebabkan oleh H3N2
dengan korban 1 juta jiwa1.
Sampai
bulan juni 2007 sebanyak 313 orang diseluruh dunia telah terjangkit virus AI
dengan 191 diantaranya meninggal dunia. Kasus penyakit ini meningkat cepat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tercatat terdapat 4 kasus, kemudian berkembang
menjadi 46 kasus (2004), 97 kasus (2005), 116 kasus (2006), dan pada tahun 2007
pertanggal 15 juni sudah dilaporkan terjadi 50 kasus dengan angka kematian 60%.
Negara yang terjangkit sebagian besar adalah negara-negara di asia (thailand,
vietnam, kamboja, china, dan indonesia), tetapi saat ini telah menyebar ke irak
dan turki2.
Kasus
AI di Indonesia bermula dari ditemukannya kasus pada unggas di pekalongan, jawa
tengah pada bulan agustus 20032. Menghadapi penyakit yang semakin merebak,
pemerintah memutuskan untuk mrengimpor vaksin dalam jumlah terbatas dan
dilakukan vaksinasi pada sejumlah unggas. Pada januari 2004, ketua I persatuan
dewan hewan indonesia (PDHI), C.A. Nidom, mengumumkan bahwa identifikasi DNA
dengan sampel 100 ayam yang diambil dari daerah wabah menunjukkan positif telah
terjangkit flu burung1. Pada april 2004, dirjen bina produksi peternakan
mengidentifikasi masuknya virus flu burung di indonesia, yakni penyelundupan
vaksin flu burung, penyelundupan unggas, dan migrasi burung5.
Sampai
akhirnya, pada akhir februari 2005 ribuan unggas, ayam, dan burung di lima
kabupaten dan kota di jawa barat mati karena flu burung. Untuk pertama kalinya,
kasus flu burung pada manusia di indonesia ditemukan pada bulan juli 2005.
Kemudian, pemerintah menetapkan flu burung sebagai kejadian luar biasa (KLB)
nasional mengingat banyaknya korban, baik unggas maupun manusia yang terjangkit
virus flu burug. Sampai dengan september 2008 penyebaran flu burung pada
manusia di Indonesia yang telah dikonfirmasi oleh Komnas Flu Burung Indonesia
telah menyebar di 12 provinsi, yakni Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Sumatera
Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi selatan, Sumatera
Selatan, Riau, dan Bali dengan jumlah kasus mencapai 137 dan 112 diantaranya
meninggal dunia. jumlah kasus tterbanyak Jawa Barat dengan jumlah kasus 33 jiwa
dan kasus meningggal 27 jiwa. sedangkan untuk daerah Tanggerang Banten
memduduki peringkat terbanyak dengan jumlah kasus 25 jiwa dan meninggal 25
jiwa. Tanggerang merupakan salah satu daerah dengan kasus penularan Avian
Influenza cukup tinggi. hingga saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggerang
Banten telah menetapkan 10 kecamatannya sebagai daerah epidemis atau wilayah
penyebab dan penularan virus flu burung
Wabah
flu burung sangat merugikan masyarakat, selain dari segi kesehatan terutama
dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena wabah flu burung membuat orang
menjadi takut mengonsumsi daging ayam serta takut berpergian di daerah yang
dinyatakan positif endemi flu burung, sehingga secara tidak langsung
melumpuhkan sektor peternakan dan pariwisata di negara tersebut1. padahal jika
dilihat dari data FAO pada tahun 2003 Asia tenggara termasuk Indonesia
merupakan tempat peternakan unggas terbesar kedua terbesar didunia, sehingga
bisa dibayangkan berapa banyak kerugian yang akan diderita apabila sektor
peternakan unggas ini lumpuh
A. Penyebab
penyakit flu burung
Penyebab
flu burung adalah virus influenza tipe A .Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae.
Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift,Shift),
dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari
Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai
identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya
terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7.Sedangkan pada binatang
H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung
adalah dari subtipe A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4
hari pada suhu 220 C dan lebih dari 30 hari pada 00 C. Virus akan mati pada
pemanasan 600 C selama 30 menit atau 560 C selama 3 jam dan dengan detergent,
desinfektanmisalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine.
1.Perkembangan
penyakit flu burung
Pada awalnya virus flu burung H5N1 hanya terbatas pada unggas,
tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah muncul sebagai penyakit menular yang
sangat fatal pada manusia. Pada tahun 1997, Avian Influenza A
subtipe H5N1 telah menginfeksi manusia untuk pertama kalinya, dimana dari
delapan belas orang pertama yang terinfeksi, enam di antaranya meninggal dunia.
Pada bulan Januari 2003, flu burung kembali menginfeksi manusia di Hong Kong,
dan sejak tahun 2004 infeksi pada manusia banyak terjadi di negara-negara Asia
lainnya.
2.Hubungan
Penyebab dan penyakit flu burung
Penyakit
Flu Burung atau lebih dikenal dengan istilah Avian Influenza (AI) disebabkan
oleh virus inflenza tipe A dari berbagai subtipe. Sebenarnya avian
influenza bukan barang baru, tetapi sudah ditemukan di Amerika Serikat
pada tahun 1924. Secara garis besar virus influenza dibagi kedalam tiga
golongan yaitu A, B dan C. Tipe-tipe ini dibagi berdasarkan
kandungan protein Hemaglutinin (H) danNeuraminidase (N)
yang terdapat pada permukaan virus. Virus influenza mempunyai subtipe H1 sampai
dengan H15 dan mempunyai pasangan N1 sampai dengan N9, itulah sebabnya penamaan
virus influenza menjadi subtipe HxNy (contohnya H5N1 dan H2N9). Kandungan
kedua protein ini yang menentukan apakah virus tersebut dari jenis yang
mematikan atau tidak. Protein N, selain menentukan tingkat patogen virus juga
sebagai determinator (penentu) jenis inang (host)
virus, apakah virus tersebut hidup pada burung, itik, babi atau bahkan pada
manusia.
Virus flu burung mudah
bermutasi dan sifatnya sangat labil, bila menyerang pada manusia dapat
berakibat fatal, sehingga sering disebuthighly pathogenic avian influenza.
Terdapat 2 sifat virus flu burung ini, yaitu antigenic shift
yang artinya virus betul-betul berubah bentuknya menjadi virus lain yang
mungkin lebih ganas kemudian yang satu lagi disebut antigenic draft artinya
virus bermutasi di dalam dirinya sendiri..
3. Model
hubungan kausal penyakit flu burung
Flu Burung (Avian
Influenza) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus influenza strain
type A (H5N1). Penyakit ini menular dari burung kepada burung, tetapi juga
dapat menularkan kepada manusia.Penyakit ini dapat menular lewat udara yang
tercemar virus H5N 1 yang berasal dari kotoran burung / unggas yang menderita
influenza.Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke
manusia.Penyakit ini terutama menyerang petemak unggas.Masa inkubasi penyakit
ini sangat singkat yaitu 1 - 3 hari.
Virus AI diramalkan
potensial sebagai “makhluk pembunuh” yang menakutkan bila penyebarannya tidak
bisa dihentikan.Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menduga pandemi global flu
burung dapat menewaskan sekitar tujuh juta umat manusia.Kini, seluruh negara di
dunia bersiap menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi global (terjadinya
wabah dalam waktu bersamaan dalam wilayah yang luas).Penyakit flu burung
sebenarnya termasuk tipe penyakit air borne desease (penyakit yang menular
melalui udara/pernapasan), bukan tipe penyakit food borne desease (menular
lewat makanan).
4. Faktor agent
dari penyakit flu burung
Lingkungan Biologis
Faktor lingkungan biologis pada
penyakit flu burung yaitu agent.Agent merupakan sesuatu yang merupakan sumber
terjadinya penyakit yang dalam hal ini adalah virus aviant influenza
(H5N1).Sifat virus ini adalah mampu menular melalui udara dan mudah
bermutasi.Daerah yang diserang oleh virus ini adalah organ pernafasan dalam, hal
itulah yang membuat angka kematian akibat penyakit ini sangat tinggi.
Lingkungan Fisika
-
Suhu
Pada suhu lingkungan yang tidak
optimal baik suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah akan berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh seseorang pada saat itu sehingga secara tidak
langsung berpengaruh terhadap mudah tidaknya virus menjangkiti seseorang.
Selain itu virus flu burung juga memerlukan suhu yang optimal agar dapat
bertahan hidup.
Faktor musim pada penyakit flu
burung terjadi karena adanya faktor kebiasaan burung untuk bermigrasi ke daerah
yang lebih hangat pada saat musim dingin. Misalkan burung-burung yang tinggal
di pesisir utara Cina akan bermigrasi ke Australia dan Asia Tenggara pada musim
dingin, burung-burung yang telah terjangkit tersebut akan berperan menularkan
flu burung pada hewan yang tinggal di daerah musim panas atau daerah tropis
tempat burung tersebut migrasi
-
Tempattinggal
Faktor tempat tinggal pada penyakit
flu burung misalnya apakah tempat tinggal seseorang dekat dengan peternakan
unggas atau tidak, di tempat tinggalnya apakah ada orang yang sedang menderita
flu burung atau tidak.
-
Lingkungan sosial
Faktor lingkungan sosial meliputi
kebiasaan sosial, norma serta hukum yang membuat seseorang berisiko untuk
tertular penyakit. Misalnya kebiasaan masyarakat Bali yang menggunakan daging
mentah yang belum dimasak terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai makanan
tradisional.Begitu pula dengan orang- orang di eropa yang terbiasa mengonsumsi
daging panggang yang setengah matang atau bahkan hanya seper-empat matang.
Selain itu juga pada tradisi sabung ayam akan membuat risiko penyakit menular
pada pemilik ayam semakin besar.
A. Riwayat alamiah
Riwayat alamiah penyakit flu burung terdiri dari empat fase, yaitu:
1.
Tahap rentan (Pre-patogenesis)
Fase rentan (pre-patogenesis) adalah tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana faktor penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu (Host). Faktor penyebab pertama ini belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit di kemudian hari.Faktor penyebab pertama ini disebut juga faktor resiko karena kehadirannya meninggalkan kemungkinan terhadap terjadinya penyakit sebelum fase ireverbilitas.
Tahap
rentan pada flu burung adalah orang yang berada di daerah endemik. Pada tahap
ini terjadi penyebaran dan penularan virus tapi proses penyebarannya belum
dipahami secara menyeluruh. Bebek dan angsa merupakan pembawa (carrier) virus
influenza A subtipe H5 dan H7. Unggas air liar ini juga menjadi reservoir alami
untuk semua virus influenza. Diperkirakan penyebaran virus flu burung karena
adanya migrasi dari unggas liar tersebut.
Beberapa cara penularan virus flu burung yang mungkin terjadi :
a. Penularan antar Unggas
Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran unggas yang sakit, melalui air minum, dan pasokan makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu H5N1 juga pekerja peternakan itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan adalah melalui:
1) Pergerakan unggas yang terinfeksi.
2) Kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan.
3) Lingkungan sekitar (tetangga) dalam radius 1 km.
4) Kereta atau troli yang digunakan untuk mengangkut makanan, minuman unggas dan lain-lain.
5) Kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat.
b. Penularan dari Unggas ke Manusia
Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus H5N1.
Orang yang
berisiko tinggi tertular flu burung adalah :
1) Pekerja di peternakan ayam.
2) Pemotong ayam.
3) Orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung.
4) Orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung.
5) Populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung.
c. Penularan antar Manusia
1) Pekerja di peternakan ayam.
2) Pemotong ayam.
3) Orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung.
4) Orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung.
5) Populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung.
c. Penularan antar Manusia
Menurut
WHO, pada tahun 2004 di Thailand dan tahun 2006 di Indonesia, diduga terjadi
adanya penularan dari manusia ke manusia tetapi belum jelas.Model penularan ini
perlu diantisipasi secara serius karena memiliki dampak yang sangat merugikan
dan mengancam kesehatan, kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan manusia. Hal
ini sangat mungkin terjadi karena virus flu burung memiliki kemampuan untuk
menyusun ulang materi genetik virus flu burung dengan virus influenza manusia
sehingga timbul virus Influenza subtipe baru yang sangat mudah menular
(reassortment).
d. Penularan dari Lingkungan ke Manusia
Secara teoritis, model penularan ini dapat terjadi karena ketahanan virus H5N1 di alam atau lingkungan. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mekanisme penularan flu burung pada manusia.Diperkirakan melalui saluran pernapasan karena dari hasil penelitian didapatkan reseptor H5N1 pada saluran napas manusia terutama saluran napas bagian bawah dan saluran pencernaan.Namun belum bisa dibuktikan penularan flu burung melalui saluran pencernaan.Kotoran unggas, biasanya kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk, menjadi salah satu faktor risiko penyebaran flu burung.Penularan unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara yang mengandung virus flu burung (H5N1) atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.
e. Penularan ke Mamalia Lain
Virus flu
burung (H5N1) dapat menyebar secara langsung pada beberapa mamalia yang berbeda
yaitu babi, kuda, mamalia yang hidup di laut, familia Felidae (singa, harimau,
kucing) serta musang (Stone marten).
C. Upaya pencegahan
penyakit flu burung
·
Kotoran dari burung
atau unggas yang terinfeksi dapat membawa virus flu burung, jadi sebaiknya
jangan menyentuh burung, unggas atau kotorannya.
·
Bila anda telah memang
burung atau unggas, segara cuci tangan dengan sabun cair dan air.
·
Masak dengan benar
unggas dan telurnya sebelum dimakan/dihidangkan
·
Bila anda mengalami
gejala flu, konsultasi ke dokter dan memakai masker untuk menghindari
penyebaran penyakit.
·
Perlindungan terbaik
terhadap influenza adalah dengan memiliki pertahanan tubuh yang baik. Hal ini
dapat dilakukan dengan diet yang seimbang, olahraga yang teratur, istirahat
yang cukup, kurangi stress, dan tidak merokok. Hindari tempat umum padat yang
bersirkulasi udara buruk
·
Bila anda mengalami
gejala demam dan pernafasan setelah kembali dari negara yang dilaporkan ada
wabah flu burung, konsultasi ke dokter anda dan ceritakan perjalanan anda
selama ini.
D. Transisi epidemiologi penyakit flu
burung
Virus influenza secara umum dapat terjadi melalui inhalasi,
kontak langsung, ataupun kontak tidak langsung (Bridges CB, et.al.
2003).Sebagian besar kasus infeksi HPAI pada manusia disebabkan penularan virus
dari unggas ke manusia (Beigel JH et.al. 2005).Pada tahun 1997 dari total 18
orang yang didiagnosis telah terinfeksi dengan H5N1 di Hongkong dimana 6 diantaranya
meninggal menunjukkan bahwa adanya kontak langsung dari korban dengan unggas
yang terinfeksi.Tidak ada risiko yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi daging
unggas yang telah dimasak dengan baik dan matang (Mounts AW, et.al.1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui risiko terinfeksi H5N1
bagi para pakerja atau peternak unggas (Bridges CB, et.al. 2002), penelitian
tentang risiko tenaga kesehatan yang menangani pasien avian influenza A
(Schults C, et.al. 2005), dan juga penelitian tentang kemungkinan transmisi
virus H5N1 pada binatang lainnya.
Bukti bahwa terjadinya transmisi dari manusia ke manusia
sangat jarang ditemukan. Namun demikian berdasarkan beberapa kejadian dimana
terjadi kematian pasien yang berkerabat dekat disebabkan oleh infeksi virus
H5N1 (Hien TT, et. al. 2004), dan transmisi yang terjadi didalam keluarga
penderita pada tahun 2004 di Thailand, antara seorang anak perempuan berumur 11
tahun yang tinggal bersama bibinya, diduga telah menularkan virus H5N1 kepada
bibi dan ibunya yang datang dari kota lain yang berjauhan untuk merawat anaknya
yang sakit terinfeksi H5N1. Putrinya meninggal pada tanggal 8 September 2004
setelah sempat dirawat selama satu hari di rumah sakit.Seminggu kemudian pada
tanggal 17 September ibunya dibawa kerumah sakit dan diduga terinfeksi virus
H5N1 dan meninggal pada tanggal 20 September 2004.Sedangkan bibinya menderita
gejala flu dan dibawa ke rumah sakit pada tanggal 23 September dan diobati
dengan oseltamivir (tamiflu).Bibinya berhasil disembuhkan dan pulang dari rumah
sakit pada tanggal 7 Oktober 2004.Dari pemeriksaan laboratorium dapat
dipastikan bahwa baik ibu maupun bibinya telah terinfeksi virus H5N1 yang
berasal dari anaknya, selama mereka merawat anaknya yang sedang sakit
(Ungchusak K, et.al. 2005). Kekhawatiran yang muncul di kalangan para ahli
genetika adalah bila terjadi rekombinasi genetik (genetic reassortment)
antara virus influenza burung dan virus influenza manusia,
sehingga dapat menular antara manusia ke manusia.
Ada dua kemungkinan yang
dapat menghasilkan subtipe baru dari H5N1 yang dapat menular antara manusia ke
manusia adalah :
a.
virus dapat
menginfeksi manusia dan mengalami mutasi sehingga virus tersebut dapat
beradaptasi untuk mengenali linkage
RNA pada manusia, atau virus
burung tersebut mendapatkan gen dari virus influenza manusia sehingga dapat
bereplikasi secara efektif di dalam sel manusia. Subtipe baru virus H5N1 ini
bermutasi sedemikian rupa untuk membuat protein tertentu yang dapat mengenali
reseptor yang ada pada manusia, untuk jalan masuknya ke dalam sel manusia,
atau
b.
Kedua jenis
virus, baik virus avian maupun human influenza tersebut dapat secara bersamaan
menginfeksi manusia, sehingga terjadi “mix” atau rekombinasi genetik, sehingga
menghasilkan strain virus baru yang sangat virulen bagi manusia (Herman RA
& Strorck M. 2005). Walaupun perkiraan fase dimana penularan antar manusia
ini masih belum dapat diketahui, akan tetapi pencegahan transmisi antar manusia
ini perlu mendapatkan perhatian yang serius mengingat bahwa telah dilaporkan
bahwa seorang perawat di Vietman telah menderita penyakit serius setelah dia
menangani pasien yang terinfeksi dengan virus H5N1. Dalam salah satu penelitian
ditemukan bahwa mutasi dari H5N1 kemungkinan besar dapat menghasilkan varian
virus H5N1 baru yang dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada sel
manusia (natural humanα2-6
glycan), sehingga bila ini terjadi maka penularan virus H5N1 dari manusia
ke manusia dapat terjadi dengan mudah (Stevens J. et.al. 2006).
E. Etika epidemiologi dari penyakit Flu burung
Etika epidemiologi akan berkaitan dengan
sikap seorang peneliti terhadap hak kewajiban terhadap subjek penelitian
tentang penyakit flu burung.
1. Perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian
a. Kerahasiaan keadaan penderita penyakit flu burung
(konfidensialitas)
b. Hak dan kewajiban responden surat pernyataan (informed
consent)
c. Pemberian
penghargaan kepada peneliti penyakt flu burung
d. Batas – batas
intervensi yang dapat dilakukan pada penelitian flu burung.
F. Segitiga epidemiologi flu burung
- Agent
Virus penyebab flu
burung tergolong family orthomyxoviridae. Virus terdiri atas 3 tipe antigenik
yang berbeda, yaitu A, B, dan C. Virus influenza A bisa terdapat pada unggas,
manusia, babi, kuda, dan kadang-kadang mamalia yang lain, misalnya cerpelai,
anjing laut, dan ikan paus. Namun, sebenarnya horpes alamiahnya adalah unggas
liar. Sebaliknya, virus influenza B dan C hanya ditemukan pada manusia.
Penyakit flu burung yang disebut pula avian influenza disebabkan oleh virus
influenza A2. Virus ini merupakan virus RNA dan mempunyai aktivitas
haemaglutinin (HA) dan neurominidase (NA). Pembagian subtipe virus berdasarkan
permukaan antigen, permukaan hamagluinin, dan neurominidase yang dimilikinya.
-
Host
Host sendiri merupakan adalah organisme tempat hidup agent
tertentu yang dalam suatu keadaan menimbulkan penyakit pada organisme tersebut.
Flu burung sebenarnya tidak mudah menular dari hewan yang telah terinfeksi,
namun jalan untuk penularan itu akan semakin mudah apabila seseorang itu berada
dalam kondisi yang lemah dan tidak memiliki system imun yang baik, begitu pula
dengan pola pikir orang yang masih tidak percaya dan terkesan meremehkan bahaya
penyakit ini.
-
Environment
(lingkungan)
Faktor lingkungan ini dibagi menjadi tiga:
a)
Lingkungan Biologis
Faktor lingkungan
biologis pada penyakit flu burung yaitu agent. Agent merupakan sesuatu yang
merupakan sumber terjadinya penyakit yang dalam hal ini adalah virus aviant
influenza (H5N1). Sifat virus ini adalah mampu menular melalui udara dan mudah
bermutasi. Daerah yang diserang oleh virus ini adalah organ pernafasan dalam,
hal itulah yang membuat angka kematian akibat penyakit ini sangat tinggi.
b)
Lingkungan Fisika
-
Suhu
Pada suhu lingkungan
yang tidak optimal baik suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah akan
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang pada saat itu sehingga secara
tidak langsung berpengaruh terhadap mudah tidaknya virus menjangkiti seseorang.
Selain itu virus flu burung juga memerlukan suhu yang optimal agar dapat
bertahan hidup.
-
Musim
Faktor musim pada
penyakit flu burung terjadi karena adanya faktor kebiasaan burung untuk
bermigrasi ke daerah yang lebih hangat pada saat musim dingin. Misalkan
burung-burung yang tinggal di pesisir utara Cina akan bermigrasi ke Australia
dan Asia Tenggara pada musim dingin, burung-burung yang telah terjangkit
tersebut akan berperan menularkan flu burung pada hewan yang tinggal di daerah
musim panas atau daerah tropis tempat burung tersebut migrasi.
-
Tempat tinggal
Faktor tempat tinggal
pada penyakit flu burung misalnya apakah tempat tinggal seseorang dekat dengan
peternakan unggas atau tidak, di tempat tinggalnya apakah ada orang yang sedang
menderita flu burung atau tidak.
c) Lingkungan sosial
Faktor lingkungan
sosial meliputi kebiasaan sosial, norma serta hukum yang membuat seseorang
berisiko untuk tertular penyakit. Misalnya kebiasaan masyarakat Bali yang
menggunakan daging mentah yang belum dimasak terlebih dahulu untuk dijadikan
sebagai makanan tradisional. Begitu pula dengan orang- orang di eropa yang
terbiasa mengonsumsi daging panggang yang setengah matang atau bahkan hanya
seper-empat matang. Selain itu juga pada tradisi sabung ayam akan membuat
risiko penyakit menular pada pemilik ayam semakin besar.
-
Portal of entry and
exit
Virus flu burug
(H5N1) masuk ke dalam tubuh manusia
melaui udara dan juga melaui mengkonsumsi daging ayam yang terinfeksi virus
H5N1. Variasi antigenik virus influenza sering ditemukan melalui drift dan
shift antigenik. Drift antigenik terjadi karena adanya perubahan struktur
antigenik yag bersifat minor pada permukaan antegen H dan atau N, sedangkan
shift antigenik terjadi karena adanya perubahan yang bersifat dominan pada
struktur antigenik. Pengaturan kembali struktur genetik virus pada unggas dan
manusia diperkirakan merupakan suatu sebab timbulnya strain baru virus pada
manusia yang bersifat pandemik (meluas ke berbagai negara). Dalam hal ini virus
pada unggas dapat berperan pada perubahan struktur genetik virus influenza pada
manusia dengan menyumbangkan gen pada virus galur manusia.Unggas yang menderita
flu burung dapat mengeluarkan virus berjumlah besar dalam kotoran (feses)
maupun sekreta yang dikeluarkannya. Menurut WHO, kontak unggas liar dengan
ungas ternak menyebabkan epidemik flu burung di kalangan uggas. Penularan
penyakit terjadi melalui udara dan eskret unggas yang terinfeksi. Virus flu
burung mampu bertahan hidup dalam air sampai 4 hari pada suhu 22 derajat celius
dan lebih dari 30 hari pada suhu 0 derajat celcius. Di dalam tinja unggas dan
dalam tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama, namun akan mati
pada pemanasan 60 detajat celcius selama 30 menit atau 90 derajat celcius
selama 1 menit
G. Aplikasi epidemiologi terhadap penyakit
a)
Melakukan promosi
kesehatan (promkes) terhadap masyarakat luas, terutama mereka yang berisiko
terjangkit flu burung seperti peternak unggas.
b)
Melakukan biosekuriti
yaitu upaya untuk menghindari terjadinya kontak antara hewan dengan
mikroorganisme yang dalam hal ini adalah virus flu burung, seperti dengan
melakukan desinfeksi serta sterilisasi pada peralatan ternak yang bertujuan
untuk membunuh mikroorganisme pada peralatan ternak sehingga tidak menjangkiti
hewan.
c)
Melakukan vaksinasi
terhadap hewan ternak untuk meningkatkan kekebalannya. Vaksinasi dilakukan
dengan menggunakan HPAI (H5H2) inaktif
dan vaksin rekombinan cacar ayam atau fowlpox dengan memasukan gen virus avian influenza H5 ke
dalam virus cacar.
d)
Menjauhkan kandang
ternak unggas dengan tempat tinggal.
e)
Melakukan surveilans
dan monitoring yang bertujuan untuk mengumpulkan laporan mengenai morbilitas
dan mortalitas, laporan penyidikan lapangan, isolasi dan identifikasi agen
infeksi oleh laboratorium, efektifitasvak sinasi dalam populasi, serta data
lain yang gayut untuk kajian epedemiologi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyebab flu
burung adalah virus influenza tipe A .Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae.
Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift,Shift),
dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi.
SARAN
Untuk ibu dosen Mata kuliah Dasar dasar
epidemiologi ke depannya saya berharap ibu bisa membimbing kami dalam bahan
pembelajaran yang lain karena saya lihat ibu sangat bagus dalam memberikan
penjelasan, singkat, padat dan mudah dipahami
DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono, 2005,
Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, Dan Pemberantasannya), Erlangga; Jakarta
2. Nurheti Yuliarti,
2006, Menyingkap Rahasia Penyakit Flu Burung, Andi Yogyakarta; Yogyakarta
3. Anonim, 2005, Artikel Tentang Flu Burung,
www.who.go.int
4. Anonim, 2006, Artikel Tentang Flu Burung,
www.depkes.go.id
5. Anonim, 2005,
Artikel Dan Lapotran Tentang Perkembangan Kasus Flu Burung, www.deptan.go.id
6. Soeyoko, Tinjauan Pustaka Flu Burung, Vol.1, No.1
Januari 2007 :
1-50,http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/410715.pdf,
di akses tanggal 23 oktober 2011
7. Yudhastuti, Ririh,
Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 2 Januari 2006 : 183 – 194,http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-2-08.pdf,
di akses tanggal 23 oktober 2011
8. Wiguna, I Komang
Candra, 2009, Peranan Faktor Host, Agent Dan Lingkungan Pada Terjadinya
Penyakit Flu Burung, Perjalanan Alamiah Dan Tahap-Tahap Pencegahannya,http://www.scribd.com/doc/20518346/Peranan-Host-Agent-Dan-Lingkungan-Pada-Flu-Burung,
di akses tanggal 23 oktober 2011
TUGAS INDIVIDU
MAKALA DBD
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PAREPARE
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
atas kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah mengenai “Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) ”.
Makalah ini penulis kerjakan atas bimbingan dari
dosen ibu Henni Kumaladewi Hengky maka dari itu penulis ucapkan terima kasih.
Penulis juga menyadari
bahwa makalah yang kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan. Sehingga
penulis memohon kritik dan saran dari pembaca agar untuk tugas makalah
selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Semoga tugas yang telah
penulis buat dapat memberi manfaat khususnya bagi diri kami sendiri serta para
pembaca.
Parepare,
14 Januari 2013
PENYUSUN
DAFTAR
ISI
Halaman
Sampul
Kata
Pengantar .....................................................................................................i
Daftar
Isi................................................................................................................ii
BAB
I Pendahuluan..............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
................................................................................3
A.
1. Perkembangan
teori terjadinya penyakit DBD..............................................3
2.
Hubungan Penyebab dan Penyakit DBD.....................................................4
3.
Model hubungan kausal penyakit DBD........................................................4
4.
Faktor Agent Penyakit
DBD..........................................................................4
B. Tahap-Tahap Riwayat Alamiah Penyakit
DBD.................................................5
C. 1. Upaya Pencegahan Penyakit
DBD...............................................................6
2.
Bagaimana besar kemungkinan pencegahan penyakit DBD.......................6
D.
Transisi Epidemiologi Penyakit
DBD................................................................7
E. Etika Epidemiologi Penyakit
DBD.....................................................................8
F. Konsep Dasar Epidemiologi Penyakit DBD......................................................8
1.
Segitiga Epidemiologi penyakit DBD............................................................8
2.
Portal Of Entry And Exit Penyakit
DBD........................................................8
G. Aplikasi Epidemiologi Penyakit
DBD................................................................9
1. Aplikasi Epidemiologi dalam klinik penyakit
DBD........................................9
BAB
III PENUTUP................................................................................................11
A.Kesimpulan dan
Saran......................................................................................11
Daftar
Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
Demam
Berdarah Dengue (DBD), merupakan salah satu penyakit menular yang sering
menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian terutama pada anak. Oleh karena itu
wabah penyakit ini sering menimbulkan kepanikan masyarakat. Daerah yang
mempunyai resiko untuk menjadi wabah demam berdarah dengue umumnya ialah kota
atau desa dipantai yang penduduknya padat dan mobilitasnya tinggi. Kejadian
luar biasa atau wabah penyakit ini dapat terjadi di daerah endemis maupun
daerah yang seluruhnya tidak pernah ada kasus. Biasanya wabah demam berdarah
dengue terjadi pada musim hujan, sesuai dengan musim penularan penyakit
ini. Pengamatan selama dua puluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa di
daerahendemis, wabah DBD terjadi secara periodik, setiap lima tahun. Namun
demikian pada umumnya kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah sulit diramalkan
sebelumnya. Di Indonesia, penyakit demam berdarah dengue cenderung semakin
meningkat jumlah penderitanya dan semakin menyebar luas.
Pada awal
tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Hal ini mengakibatkan sejumlah
rumah sakit menjadi kewalahan dalam menerima pasien DBD. Untuk
mengatasinya pihak rumah sakit menambah tempat tidur di lorong-lorong
rumah sakit serta merekrut tenaga medis dan paramedis. Merebaknya kembali kasus
DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian menganggap hal ini
terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan
sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan
merespon kasus ini. Sejak Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus
DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah
kematian sebanyak 389 orang. Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegyptidan Aedes
albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali ditempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan air laut. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain
seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang
menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di
bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala
batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena
virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain
seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman
tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan
ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan
lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat
membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai. Penyakit DBD pertama kali
di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi
virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut
menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi
di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali
ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah
maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB
setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate
(IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999,
IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung
meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000), 21,66 (tahun 2001), 19,24 (tahun 2002), dan
23,87 (tahun 2003). Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang
terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk,
adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan
sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah
air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Perkembangan
Teori terjadinya penyakit DBD
1.
Sejarah
penyakit DBD
Demam Berdarah Dengue sejak mulai
menjadi wabah musiman di tahun 1970 an, masih tetap menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia, bahkan setiap tahun masih berpotensi wabah. Memang
tidak semua infeksi Dengue akan berlanjut menjadi Demam Berdarah Dengue,
apalagi menjadi Dengue Shock Syndrome yang mematikan tetapi mengingat sampai
saat ini pengobatan kausalnya belum memuaskan, masalah ini harus tetap
diperhatikan. Adanya pengobatan alternatif tentu akan mambantu pengelolaan
pasien, selain pemahaman mengenai patofisiologi yang lebih baik. Selain itu,
terutama bagi sejawat di Indonesia Timur, malaria merupakan masalah yang masih
aktual.
Dengue adalah homonim dari bahasa
Afrika, ki denga pepo, penyakit yang pernah mewabah di wilayah Karibia, Amerika
Tengah, pada 1827-1828. Kini demam tersebut dikenal dengan nama Demam Dengue
(DD)1, penyakit viral transmisi nyamuk Aedes aegypti yang tersebar luas di
antara garis Lintang Utara 35o dan Selatan 35o. Penularan DD di masyarakat
terjadi akibat interaksi kemiskinan, urbanisasi, rendahnya ketersediaan
infrastruktur kesehatan serta perubahan iklim. Di Indonesia DD telah menjadi
wabah musiman sejak tahun 1968, hingga kini masih merupakan masalah kesehatan
nasional. Pada tahun 1998 terjadi wabah DD di Indonesia yang menyerang hingga
58.000 penderita.
2.
Hubungan
penyebab dan penyakit BDB
Virus dengue
dalam tubuh manusia Virus
memasuki tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah itu
disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus melakukan
replikasi secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah virus sudah cukup
maka virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia), dan pada saat ini manusia
yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Dengan adanya virus dengue dalam
tubuh manusia, maka tubuh akan memberi reaksi. Bentuk reaksi tubuh terhadap
virus ini antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda,
dimana perbedaan reaksi ini akan memanifestasikan perbedaan penampilan gejala
klinis dan perjalanan penyakit.
Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh
manusia terhadap keberadaan virus dengue adalah sebagai berikut yaitu Bentuk
reaksi pertama,Terjadi netralisasi virus, dan disusul dengan
mengendapkan bentuk netralisasi virus pada pembuluh darah kecil di kulit berupa
gejala ruam (rash). Bentuk
reaksi kedua, Terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai
akibat dari penurunan jumlah dan kualitas komponen-komponen beku darah yang
menimbulkan manifestasi perdarahan. Bentuk
reaksi ketiga, Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang
mengakibatkan keluarnya komponen plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh
darah menuju ke rongga perut berupa gejala ascites dan rongga selaput paru
berupa gejala efusi pleura. Apabila tubuh manusia hanya memberi reaksi bentuk 1
dan 2 saja maka orang tersebut akan menderita demam dengue, sedangkan apabila
ketiga bentuk reaksi terjadi maka orang tersebut akan mengalami demam berdarah
dengue.
3.
Model
hubungan kausal penyakit DBD
·
Singgle
causa : Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue dengan genusnya adalah favivirus.
·
Multiple
causa :
Virus
Dengue
Lingkungan
·
Myltiple
causa :
Lingkungan
banyaknya
tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban, pencahayaan
didalam rumah, merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap dan
beristirahat.
4.
Faktor-faktor
Agent penyakit DBD
·
Faktor
biologi : virus dengue
·
Faktor
fisik : perilaku gaya hidup yang tidak sehat.
·
Faktor
kimia : obat”an yang mengandung bahan kimia seperti insektisida.
·
Faktor
nutrisi : kekurangan gizi.
B.
Tahap–tahap
Riwayat Alamiah Penyakit DBD
·
Tahap
Prepatogenesis
Kondisi
host masih normal atau sehat
·
Tahap
Patogenesis
Ø Tahap inkubasi : Masa
tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue.
Ø
Tahap penyakit Dini : Demam yang akut, selama 2 hingga 7 hari, dengan 2 atau lebih gejala
diantaranya seperti berikut : nyeri kepala, nyeri otot, nyeri persendian. Dimana gejala panas penderita di hari ke 1- 4 rata-rata menunjukkan peningkatan (cenderung panas) dimana suhu badan mencapai 39'C-41'C , hari ke 5-7 rata-rata panas cenderung menurun.
Ø
Tahap penyakit lanjut : Bintik-bintik pada kulit sebagai manifestasi perdarahan dan leucopenia.Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).
Ø
Tahap penyakit Akhir : Mati bagi yang tidak segera ditangani, sembuh.
·
Tahap
Pasca Patogenesis
Ø
Sembuh
: Penyakit demam dengue biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita sembuh
tanpa gejala sisa.
Ø
Mati
: apabila penyakit demam berdarah dengue(DBD) tidak diobati atau tidak
melakukan pencegahan.
C.
Upaya
Pencegahan Penyakit DBD
1.
Primordial
prevention
Kebijakan pemerintah tentang memasuki masa
pancaroba, perhatikan kebersihan lingkungan tempat tinggal dan melakukan 3M
yaitu Menguras bak mandi, Menutup wadah yang dapat menampung air, dan Mengubur
barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang perkembangan jentik-jentik
nyamuk.
2. Primary prevention
·
Melakukan
kebiasaan baik, seperti makan-makanan bergizi, olahraga rutin, dan istirahat
yang cukup. (Meningkatkan daya tahan tubuh).
·
Fogging atau
pengapasan hanya akan mematikan nyamuk dewasa, sedangkan bubuk abate akan
mematikan jentik-jentik pada air.
Keduanya harus dilakukan untuk memutuskan rantai perkembangbiakan nyamuk.
·
Memperbaiki
kondisi lingkungan seperti membersihkan halaman rumah setiap hari.
3. Secondary prevention
Pemeriksaan laboratorium :
·
Kriteria untuk diagnosa laboratorium. Pada pemeriksaan
laboratorium (darah) hari ke 3-7 terjadi penurunan trombosit dibawah 100.000/mm3, terjadi peningkatan nilai-nilai Hematokrit diatas 20% dari nilai normal.
Ø Fokus pengobatan pada
penderita penyakit DBD yaitu mengatasi pendarahan, mencegah atau mengatasi
keadaan syok/persyok, yaitu dengan mengusahakan agar penderita banyak minum air
sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam 24 jam.
Ø Penambahan cairan
tubuh melalui infus (intravena) mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi yang berlebihan.
Ø Tranfusi platelet
(trombosit) dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis.
Ø Selanjutnya adalah
pemberian obat-obatan terhadap keluhan yang timbul, misalnya paracetamol
(membantu menurunkan demam) dan garamelektrolit (oralit) jika disertai diare.
Ø Ekstrak daun jambu
biji bisa mengatasi DBD.
4. Tertiary prevention
·
Antibiotik berguna untuk mencegah infeksi sekunder.
·
Rehabilitasi.
5.
Besar kemungkinan pencegahan penyakit DBD yaitu
perhatikan kebersihan lingkungan tempat tinggal dan melakukan 3M yaitu Menguras
bak mandi, Menutup wadah yang dapat menampung air, dan Mengubur barang-barang
bekas yag dapat menjadi sarang perkembangan jentik-jentik nyamuk.
D.
Transisi
Epidemiologi Penyakit DBD
Beban pertama
yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit menular
“klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua
Negara berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan
sub-tropis. Angka kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung
sangat cepat menjadi masalahnya. Penyakit
menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa
kita lakukan dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menghentikan kontak agent (penyebab) penyakit dengan pejamu (host).
Mengintervensi faktor risiko utama yaitu Modifikasi lingkungan (menciptakan
lingkungan yang sehat) dan mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan sehat.
Namun kedua faktor utama inilah yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi.
Masalahnya cukup kompleks, bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah yang
belum berpihak pada upaya preventif (pencegahan), Sektor kesehatan merasa
bekerja sendiri menyelesaikan masalah kesehatan, Keadaan politik,sosial dan
ekonomi menjadi akar masalah kita.
E.
Etika
Epidemiologi Penyakit DBD
Memberdayakan masyarakat untuk sadar
dan secara bersama-sama melakukan upaya-upaya pencegahan. Dalam hal ini
masyarakat didorong untuk memiliki kesadaran membersihkan tempat-tempat yang
merupakan sumber perkembangbiakan nyamuk aides aegeypti. Para penggerak untuk
melakukan pemeriksaan sekaligus memberikan penyuluhan tentang upaya-upaya yang
perlu diperhatian dalam melakukan pencegahan DBD.
F.
Konsep
Dasar Epidemiologi Penyakit DBD
1. Segitiga Epidemiologi Penyakit DBD
·
Faktor
Host
Faktor-faktor
yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu Mobilitas penduduk akan
memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, Pendidikan akan
mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan
yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan, Kelompok umur akan
mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD.
·
Faktor Agent
Adalah
semua unsur atau elemen hidup atau mati yang kehadirannya apabila
diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam
keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimuli untuk mengisi dan memudahkan
terjadinya suatu proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent dalam
penyebaran DBD adalah virus dengue.
·
Faktor
Environment
Tempat
penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes
aegypti, Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap perkembangbiakan
nyamuk dan virus DBD, curah hujan pada musim hujan (curah hujan diatas normal)
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau
tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum sempat menetas,
dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan meningkat yang
akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dimana selama musim
hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan berisiko penularan
virus lebih besar.
2.
Portal of Entry and Exit
Permukaan
kulit tubuh. Penularan
ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah
akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis).
G.
Aplikasi
Epidemiologi Penyakit DBD
1.
Epidemiologi
dalam klinik Penyakit DBD
gejala
klinik utama pada penyakit DBD adalah demam dan manifestasi perdarahan baik
yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet. Adapun gejala
klinik DBD antara lain : 1) Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari, tampak lemah
lesu suhu badan antara 38°C - 40°C atau lebih; 2) Tampak binti-bintik merah
pada kulit dan jika kulit direnggangkan bintik merah itu tidak hilang; 3)
Kadang-kadang perdarahan di hidung ( mimisan); 4) Mungkin terjadi muntah darah
atau berak darah; 5) Tes Torniquet positif, Trombositopenia (=100.000/mm3). Penegakan diagnosis DBD (secara klinis) sesuai dengan
kriteria World Health Organization (WHO), sekurang-kurangnya memerlukan
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan yang di harapkan adalah trombosit dan
hematokrit secara berkala. Pengobatan penderita DBD pada dasarnya
bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau
air ditambah garam/oralit). Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena
tidak mau minum, muntah atau nyeri perut berlebihan, maka cairan inravena harus
diberikan. Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian
penderita/tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan
dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta tempat-tempat umum yang
diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya dicatat dalam formulir PE dan
dilaporkan kepada Kepala Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui
Camat dan penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud
penyelidikan epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD
tanbahan dan luas penyebarannya, serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
penyebaran penyakit DBD lebih lanjut dilokasi tersebut. Bila pada hasil PE ditemukan
penderita DBD lain atau jentik dan penderita panas tanpa sebab yang jelas lebih
dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3 M plus, larvasida, fogging fokus
/ penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar tempat tinggal penderita
DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil dari
penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Bila
pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka dilakukan penyuluhan dan kegiatan
3M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan Dan Saran
Menurut saya
dosen mata kuliah dasar-dasar epidemiologi yaitu ibu henny adalah dosen yang
sangat disiplin dalam mengajar, dan cara menjelaskan materi-materi pembelajaran
yg diberikan mudah dimengerti walaupun tdk sepenuhnya tetapi beliau aktif dalam
memberikan materi kuliah khususnya dasar-dasar epidemiologi kemudian tugas yang
di berikan kepada kami kadang sulit dimengerti
tetapi itu semua membantu kami untuk belajar lebih giat. Kemudian adapun cara
mengajar beliau menggunakan media elektronik seperti LCD untuk memudahkan kami
dalam menangkap materi dan bisa mencatat hal-hal terpenting dalam setiap materi
yang diajarkan. Terkadang juga beliau memberikan kami soal mid dan final yang
lumayan sulit kami ketahui.
Sarannya yaitu
sebaiknya ibu tidak terlalu memberikan tugas yang sulit dan cara menjelaskan
ibu jangan terlalu cepat .
DAFTAR PUSTAKA
Hastuti O,sri. Demam Berdarah Dengue, Jogjakarta : Penerbit Kanisius. 2007
Nasry N, Nur. Pengantar
Epidemiologi Penyakit Menular, Jakarta : Rineka Cipta. 2006
Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, &
Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Airlangga. 2008
______[11 Juni
2010,www.chp.gov.hk/files/pdf/,dengue fever indonesian]
__________[11 juni 2009, www.google,Demam Berdarah Dengue]
Akan tetapi sejak beberapa tahun terakhir, dunia pengobatan
TB telah menghadapi ancaman baru, yaitu penyakit
TB Kebal Obat (TB MDR/ Multi-Drug Resistance). Penyakit TB kebal
obat ini adalah penyakit akibat kuman tuberkulosis yang telah kebal terhadap
obat-obatan TB utama yang ada dalam program DOTS. Hal ini terutama diakibatkan
oleh pengobatan TB yang tidak adekuat sebelumnya, akibat ketidakpatuhan minum
obat, maupun rejimen obat yang tidak sesuai. Bahayanya adalah, apabila
seseorang dengan penyakit TB MDR ini menularkan penyakit TB pada orang lain,
maka orang tersebut juga akan terinfeksi kuman TB MDR ini dan menderita
penyakit TB MDR juga. Saat ini pengobatan
TB MDR yang tersedia di seluruh dunia adalah dengan meminum obat selama
18-24 bulan dan disuntik selama minimal selama 6 bulan setiap hari. Penyebab penyakit TBC
adalah bakteri yang disebut Mycobacterium tuberculosis. Nama lainnya adalah
Tubercle bacillus Koch 1882. Bakteri ini pertama kali berhasil diidentifikasi
oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882. Permukaan bakteri ini dilapisi
lemak yang terbuat dari asam mikolat. Uniknya lagi, bakteri ini bersifat sangat
aerobic, yaitu: sangat memerlukan kadar oksigen yang tinggi untuk metabolisme
tubuhnya.
Melemahnya sistem imun atau kekebalan tubuh juga merupakan
salah satu faktor risiko yang memperberat penyakit TBC. Beberapa diantara
penyakit dan medikasi atau obat-obatan yang dapat melemahkan sistem imun itu
antara lain: HIV/AIDS, usia lanjut, malnutrisi atau kurang gizi, kencing manis
atau diabetes mellitus, beberapa obat untuk mengobati radang sendi (rheumatoid
arthritis), penyakit Crohn, dan psoriasis, obat-obatan untuk mencegah penolakan
(rejeksi terhadap berbagai organ yang ditransplantasikan), dan kondisi penyakit
ginjal stadium akhir.
Akan tetapi sejak beberapa tahun terakhir, dunia pengobatan
TB telah menghadapi ancaman baru, yaitu penyakit
TB Kebal Obat (TB MDR/ Multi-Drug Resistance). Penyakit TB kebal
obat ini adalah penyakit akibat kuman tuberkulosis yang telah kebal terhadap
obat-obatan TB utama yang ada dalam program DOTS. Hal ini terutama diakibatkan
oleh pengobatan TB yang tidak adekuat sebelumnya, akibat ketidakpatuhan minum obat,
maupun rejimen obat yang tidak sesuai. Bahayanya adalah, apabila seseorang
dengan penyakit TB MDR ini menularkan penyakit TB pada orang lain, maka orang
tersebut juga akan terinfeksi kuman TB MDR ini dan menderita penyakit TB MDR
juga. Saat ini pengobatan TB MDR
yang tersedia di seluruh dunia adalah dengan meminum obat selama 18-24 bulan
dan disuntik selama minimal selama 6 bulan setiap hari.
Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal
sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir
rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host.
Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah
penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan
obat baru. Umumnya sumber infeksinya
berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa
melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang
jarang terjadi.
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat
3 puncak kejadian dan kematian ; (1) paling rendah pada awal anak (bayi) dengan
orang tua penderita, (2) paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai
dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita,
(3) puncak sedang pada usia lanjut. Dalam perkembangannya, infeksi pertama
semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria
dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko
infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan
resistensi. Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi
yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek
keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC,
tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang
pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut
memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan
kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan
fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga
berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer
memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar
pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host
dan Lingkungan. Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan
aplikasi modern kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial,
materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator
anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat
diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi
juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif. Langkah kontrol
kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan imunisasi
TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol
lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan
investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan
memegang peranan terhadap epidemi TBC. Melalui usaha pembatasan
ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat
dan menghindari tekanan psikis.
Dunia pengobatan TB telah menghadapi ancaman baru, yaitu penyakit
TB Kebal Obat (TB MDR/ Multi-Drug Resistance). Penyakit TB kebal
obat ini adalah penyakit akibat kuman tuberkulosis yang telah kebal terhadap
obat-obatan TB utama yang ada dalam program DOTS. Hal ini terutama diakibatkan
oleh pengobatan TB yang tidak adekuat sebelumnya, akibat ketidakpatuhan minum
obat, maupun rejimen obat yang tidak sesuai. Bahayanya adalah, apabila
seseorang dengan penyakit TB MDR ini menularkan penyakit TB pada orang lain, maka
orang tersebut juga akan terinfeksi kuman TB MDR ini dan menderita penyakit TB
MDR juga. Saat ini pengobatan TB MDR yang tersedia di seluruh dunia
adalah dengan meminum obat selama 18-24 bulan dan disuntik selama minimal
selama 6 bulan setiap hari.
Udara merupakan media penyebaran bakteri mikobakterium tuberkulosa
dalam penularan penyakit TBC , biasanya bakteri mikobakterium tuberkulosa
terbawa pada saat penderita TBC batuk atau mengeluarkan dahak dan meludahkannya
ke sembarang tempat. Jika bakteri ini sering masuk dan terkumpul di dalam
paru-paru maka perkembang biakan bakteri ini akan semakin cepat terutama pada
orang dengan daya tahan tubuh yang rendah, setelah terjadi infeksi maka akan
dengan mudah menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh
sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti:
paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan
lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu
paru-paru.
Makalah Penyakit Tuber Colosis
PENYAKIT
TUBER COLOSIS (TBC)
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PAREPARE
TAHUN
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, rahmat, hidayah serta inayahnya penulis
dapat menyelesaikan Makalah ”Penyakit Tuber Colosis”. Sholawat serta semoga
akan selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, yang telah membawa kita dari
jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang, dan yang kita nantikan syafa’atnya
di dunia dan akhirat. Penulis sadar bahwa dirinya hanyalah manusia biasanya
yang pastinya mempunyai banyak kesalahan, tentunya dalam makalah ini terdapat
banyak kesalahan. Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan pengembangan berikutnya.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi mahasiswa Kesehatan Masyarakat khususnya dan untuk mata
kuliah Epidemiologi. Selesainya makalah ini tentunya tidak terlepas dari
berbagai pihak. Dalam lembar ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Kedua orang tua penulis yang selalu mendukung penulis, yang selalu
mendoakan penulis dan selalu mendukung baik moril maupun materi.
2. Dosen pembimbing mata kuliah Epidemiologi
3. Semua pihak yang telah berkenan memberikan dukungan dan semangat yang
penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat,
hidayah, serta inayah-Nya.
Parepare, 21 Januari
2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ .i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... .ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA............................................................................. 4
I.
Pembahasan............................................................................................. 4
A.
Perkembangan Teori
Terjadinya Penyakit Menular (TBC)................ 4
·
Hubungan dan
Penyebab Penyakit TBC................................ 5
·
Model Hubungan
Kausal Penyakit TBC................................. 5
·
Faktor Agen
Penyakit TBC..................................................... 5
B.
Tahap-tahap Riwayat
Alamiah Penyakit TBC.................................... 6
C.
Upaya Pencegahan
Penyakit TBC..................................................... 8
·
Bagaimana Besarnya
Kemungkinan Pencegahan Penyakit TBC………. 10
D.
Transisi
Epidemiologi Penyakit TBC................................................... 11
E.
Etika Epidemiologi Penyakit
TBC………………………………………12
F.
Konsep Dasar
Epidemiologi Penyakit TBC ……………………..12
·
Fortal Of Entri And Exit…………………………………………13
G.
Bagaimana Aplikasi Epidemiologi
Penyakit TBC……………………..14
BAB II PENUTUP……………………………………………………………………15
Kesimpulan dan Saran.............................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Memperingati
Hari TB Sedunia (World TB Day)
tanggal 24 Maret 2012, hari ini diperingati setiap tahun pada hari di mana
Robert Koch menemukan penyebab tuberkulosis
(tb) pada tahun 1882. Pada saat
itu penyakit TB (tuberkulosis) membunuh
1 dari setiap 7 orang di Eropa.
Penyakit TB telah ada seiring dengan
peradaban manusia, pada mumi di Mesir, telah ditemukan bekas penyakit TB.
Hingga hari ini, penanganan penyakit TB telah mengalami perkembangan, terutama
setelah diperkenalkan program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
yang menitikberatkan pengobatan TB
dengan model pendampingan. Pasien TB pada saat pengobatan akan diberikan
seorang pendamping yang didaftar dalam paket pengobatannya. Pendamping tersebut
bertugas mendampingi dan memberikan dukungan bagi penderita TB dalam
menyelesaikan pengobatannya. Pengobatan TB dengan metode DOTS inipun
memperpendek waktu pengobatan TB menjadi hanya 6-8 bulan, mengingat sebelumnya
pengobatan TB adalah di sanatorium (tempat tinggal khusus) selama 2 tahun.
Selain itu, program DOTS memungkinkan pasien dapat menelan jumlah obat yang
lebih sedikit. Tanpa program DOTS, pasien dapat meminum obat 7 hingga belasan
butir setiap harinya, yang dimana dengan program DOTS, obat yang diminum hanya
berkisar 2-5 tablet.
|
Bila
dilihat dari taksonominya, bakteri penyebab penyakit TBC ini termasuk
kerajaan Bacteria, filum Actinobacteria, kelas Actinobacteria, ordo Actinomycetales,
subordo Corynebacterineae, famili Mycobacteriaceae, dan genus Mycobacterium.
Selain
penyebab penyakit TBC, ada hal lain yang juga berperan penting di dalam
perkembangan penyakit TBC, yaitu: faktor risiko. Ada berbagai faktor risiko
lingkungan yang berperan penting sehingga bagi masyarakat awam, hal ini seolah
juga merupakan penyebab penyakit TBC: Ventilasi rumah. Penderita TBC cenderung
tidak memiliki sistem ventilasi rumah yang baik. Sehingga memudahkan
berkembangnya bakteri penyebab penyakit TBC. Perilaku penderita atau masyarakat
yang tidak menutup mulut saat batuk, padahal TBC ditularkan melalui udara dan
percikan air liur atau dahak pada saat batuk. Pencahayaan. Banyak sekali rumah penderita TBC
yang memiliki pencahayaan yang buruk, bahkan banyak yang tidak ada pencahayaan
sama sekali. Seperti rumah-rumah di pemukiman kumuh. Tentunya hal ini amat
disayangkan, sebab mudah sekali memperberat TBC. Suhu dan kelembaban. Suhu dan
kelembaban rumah penderita TBC biasanya tidak memenuhinya persyaratan untuk
disebut sebagai rumah sehat. Perlu diketahui, rumah sehat memiliki suhu
rata-rata 30,84 derajat Celsius dan kelembaban rata-rata 70,38%.
|
TBC yang sering disebut juga TB atau
Tuberculosis adalah suatu penyakit MEMATIKAN karena kuman Mycobacterium Tuberculosis. Jumlah penderita TBC sangat banyak di
Indonesia, diperkirakan ada sekitar 429ribu orang penderita TBC.
Mirisnya, mayoritas menyerang usia produktif. Menurut WHO, Jumlah penderita TBC
yang melimpah ini membuat Indonesia masuk negara dengan jumlah penderita TBC
TERBANYAK no.5 di dunia. Karena jumlah penderita yang begitu banyak, jumlah kematian karena TBC di
Indonesia juga melimpah. Setiap tahun, kematian yang disebabkan TBC di
Indonesia sekitar 61.000 orang/tahun!
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
I.
Pembahasan
A.
- Perkembangan Teori Penyakit TBC
Penyakit TB
telah ada seiring dengan peradaban manusia, pada mumi di Mesir, telah ditemukan
bekas penyakit TB. Hingga hari ini, penanganan penyakit TB telah mengalami
perkembangan, terutama setelah diperkenalkan program DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) yang menitikberatkan pengobatan TB dengan model pendampingan. Pasien TB pada saat
pengobatan akan diberikan seorang pendamping yang didaftar dalam paket
pengobatannya. Pendamping tersebut bertugas mendampingi dan memberikan dukungan
bagi penderita TB dalam menyelesaikan pengobatannya. Pengobatan TB dengan
metode DOTS inipun memperpendek waktu pengobatan TB menjadi hanya 6-8 bulan,
mengingat sebelumnya pengobatan TB adalah di sanatorium (tempat tinggal khusus)
selama 2 tahun. Selain itu, program DOTS memungkinkan pasien dapat menelan
jumlah obat yang lebih sedikit. Tanpa program DOTS, pasien dapat meminum obat 7
hingga belasan butir setiap harinya, yang dimana dengan program DOTS, obat yang
diminum hanya berkisar 2-5 tablet.
|
-
Hubungan
dan Penyebab Penyakit TBC
Ø
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara
nafas melemah yang disertai sesak.
Ø
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),
dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
Ø
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti
infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada
kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Ø
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)
dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang
-
Model
Hubungan Kausal Penyakit TBC
-
Faktor
Agen Penyakit TBC
·
Lingkungan fisik : Bersifat abiotik seperti air, udara,
tanah, cuaca, makanan, panas, radiasi, dan lain-lain.
|
· Lingkungan
biologis : Bersifat biotik seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroorganisme yang
dapat berfungsi sebagai agen penyakit dan hospes perantara
· Lingkungan
sosial : Berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap,
standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial
politik.Timbulnya penyakit berkaitan dengan gangguan interaksi antara ketiga
faktor ini.
B.
Tahap-tahap
Riwayat Alamiah Penyakit TBC
1. Periode
Prepatogenesis
a. Faktor Agent
(Mycobacterium tuberculosis)
Karakteristik
alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau
antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu
yang lama.
|
b. Faktor
Lingkungan
Distribusi
geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar
dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola
sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi
merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan
adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup
pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan
ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan
urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi
tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC
dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini. Pada
lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan
hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.
c. Faktor
Host
|
2.
Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent)
Interaksi
terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi dan
pencernaan Host. Contohnya Mycobacterium melewati barrier
plasenta, kemudian berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak
selalu berarti penyakit klinis. Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada
pengaruh interaksi dari Agent, Host dan Lingkungan.
C.
– Upaya Pencegahan Penyakit TBC
Berkaitan
dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan
dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
|
1. Pencegahan
Primer
Dengan
promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun hanya
mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan
TBC yang meliputi ; (1) Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi BCG secara nasional
dan internasional pada daerah dengan angka kejadian tinggi dan orang tua
penderita atau beresiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan
tergantung Host tambahan dan lingkungan, (2) Chemoprophylaxis,
obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan tetap harus
dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak, (3) Pengontrolan Faktor
Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis,
malnutrisi, sakit kronis dan mental.
2. Pencegahan
Sekunder
|
3. Pencegahan
Tersier
Rehabilitasi
merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus
berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis,
rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian
rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan
kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial
dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi. Selain itu, tindakan
pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan
tentang TBC, yaitu dengan jalan sebagai berikut :
1.
Perkembangan media.
2.
Metode solusi problem keresistenan obat.
3.
Perkembangan obat Bakterisidal baru.
4.
Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
5.
Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang
fleksibel.
6.
Studi lain yang intensif.
7.
Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang
terkontrol.
-
Bagaimana
Besarnya Kemungkinan Pencegahan Penyakit TBC
|
D.
Transisi
Epidemiologi Penyakit TBC
Sekitar 4000 tahun yang lampau, peradaban manusia dikejutkan
dengan munculnya epidemi penyakit yang menyerang organ pernapasan utama
manusia, yaitu paru-paru. Akhirnya dunia pun tahu, ketika Robert Koch (1882)
berhasil mengidentifikasi kuman penyebab infeksi tersebut, Mycobacterium
tuberculosis. Tuberculosis a atau penyakit TBC adalah suatu penyakit
infeksi yang bisa bersifat akut maupun kronis dengan ditandai pembentukan
turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain itu, juga bersifat pulmoner
maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi organ tubuh lainnya. Hingga kini,
TBC menjadi salah satu problem utama kesehatan dunia, terutama di negara
berkembang. Menurut perkiraan WHO (1964) untuk dunia, secara keseluruhan
sekitar 15 juta jiwa menderita infeksi TBC dan lebih dari 3 juta kematian dapat
dihubungkan dengan TBC, serta diestimasikan untuk tiap tahunnya muncul 2-3 juta
kasus baru TBC. Geografis dan distribusi temporal dari TBC berbeda-beda baik
tempat maupun waktu. Dalam perkembangannya, kematian yang disebabkan oleh TBC
perlahan menurun, sehingga TBC sebagai penyebab kematian turun dari posisi ke-2
pada tahun 1900 menjadi posisi ke-16 di tahun 1960. Namun kenyataan diatas
tidak berlaku di beberapa tempat yang kurang berkembang aspek pencegahannya
terutama di belahan dunia ketiga. TBC tetap menjadi penyebab kematian dini dan
ketidakmampuan, dengan lebih dari 70% anak-anak terinfeksi sebelum berumur 14
tahun.
|
E.
Etika
Epidemiologi Penyakit TBC
Mencegah penyakit tentunya akan lebih baik daripada
mengobati. Dengan menjalankan pola hidup sehat dan menjaga lingkungan yang
sehat merupakan kunci agar kita terhindar dari berbagai macam penyakit tak
terkecuali dengan penyakit TBC.
Untuk itu sangat perlu menjaga lingkungan yang sehat seperti
pengaturan syarat-syarat rumah yang sehat diantaranya luas bangunan rumah,
ventilasi, pencahayaan dengan jumlah anggota keluarga, kebersihan lingkungan
tempat tinggal. Melalui pemberdayaan keluarga sehingga anggota rumah tangga
yang lain dapat turut serta dan berperan dalam melakukan pengawasan terhadap si
penderita dalam minum obat. Sehingga tingkat kepatuhan penderita dalam minum
obat sesuai dengan petunjuk medis.
F.
– Konsep Dasar Epidemiologi TBC
1.
Faktor Host (tuan rumah/pejamu)
Host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia
yang dapat mempengaruhi timbul dan menyebarnya penyakit. faktor resiko penyebab
sakit pada manusia bisa beragam entah itu umur, jenis kelamin, ras, genetik,
pekerjaan, nutrisi, status kekebalan, adat istiadat, gaya hidup, psikis dan
yang lainnya. Tetapi manusia juga mempunyai karakteristik tersendiri dalam
menghadapi ancaman penyakit, diantaranya berupa:
·
Resistensi : kemampuan dari host untuk bertahan terhadap
suatu infeksi.
·
Imunitas : kesanggupan host untuk mengembangkan suatu respon
imunologis, dapat secara alamiah maupun diperoleh sehingga kebal tetrhadap
suatu penyakit.
·
Infektiousness : potensi host yang terinfeksi untuk
menularkan kuman yang berada dalam tubuh manusia yang dapat berpindah kepada
manusia dan sekitarnya.
|
2.
Faktor Agent (pembawa penyakit)
Agent penyakit adalah suatu substansi atau elemen-elemen
tertentu yang keberadaannya bisa menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu
penyakit.
3.
Lingkungan (Environment)
Faktor lingkungan adalah titik tumpu dari konsep segita
epidemiologi. konsep Epidemiological Triad sangat sederhana,
yaitu diibaratkan sebuah timbangan (equilibrium). Dikatakan normal (sehat)
apabila timbangan itu ada dalam keadaan seimbang, dan dikatakan tidak normal
(sakit) jika salah satu faktor dari host, agent atau environment lebih dominan.
Ada 4 kemungkinan gangguan keseimbangan, yakni:
1.
Peningkatan kesanggupan agen penyakit, misalnya virulensi
kuman bertambah, atau resistensi meningkat.
2.
Peningkatan kepekaan pejamu terhadap penyakit, misalnya
karena gizi menurun.
3.
Pergeseran lingkungan yang memungkinkan penyebaran penyakit,
misalnya lingkungan yang kotor.
4.
Perubahan lingkungan yang mengubah meningkatkan kerentanan
host, misalnya kepadatan penduduk di daerah kumuh.
-
Fortal
Of Entry And Exit
|
G.
Bagaimana
Aplikasi Epidemiologi Penyakit TBC
Aplikasi
Epidemiologi dalam lingkungan klinik yaitu berupa pemberian pengobatan kepada
penderita TBC, sedangkan aplikasi Epidemiologi dalam kesehatan lingkungan yaitu
berupa pemberian pengarahan kepada masyarakat
tentang bagaimana pentingnya pencegahan penyakit TBC karena mengingat
penyakit ini dapat menular ke seluruh organ tubuh manusia.
|
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
dan Saran
Berdasarkan proses
perkuliahan selama 3 (Tiga) semester ini, maka Saya selaku mahasiswa Fakultas
Ilmu Kesehatan dapat memberikan beberapa pernyataan Saya tentang dosen
pembimbing mata kuliah Epidemiologi bahwa cara mengajar Ibunda dosen bagus
karena mampu memberikan kami pemahaman tentang mata kuliah Epidemiologi, selain
itu Ibunda dosen sangatlah disiplin dalam memberikan mata kuliah ini, serta
sangat disiplin untuk hadir demi menjalankan kewajiban Ibunda selaku pengampuh
salah satu mata kuliah dalam ilmu kesehatan. Selama proses pembelajaran di
kelas juga, Ibunda sangat tegas. Akan tetapi tidak lupa Ibunda juga menyisipkan
sedikit humor dalam proses pembelajaran Ibunda. Sehingga kami mudah dalam
memahami mata kuliah Epidemiologi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia (FKUI),
2004. Kuliah Tuberculosis. http://ui.org/ fk/kuliah/respirasi/tuberculosis.htm.
World
Health Organitation (WHO), 2004. Epidemiology
of Tuberculosis. http://who.org/orgs/dissease/tuberculosis/epidemiology.htm.
http://www.blogkesmas.com/2013/01/konsep-dasar-epidemiologi-penyakit.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar